Friday, October 27, 2006

Naluri Lelaki?????? F**k with it!!

Aku adalah lelaki
Yang tak pernah lelah
Mencari wanita
Aku adalah lelaki
Yang selalu gundah
Menunggu wanitaku

Oh aku adalah lelaki
Yang pantang menyerah
Memikat wanita
Aku adalah lelaki
Yang selalu ingin
Dibuai wanitaku

Tolong dekati aku
Tolong hampiri aku
Tolong jamahi aku
Agar aku bijaksana
Agar aku bahagia
Agar aku merasakan cinta

Naluriku sebagai lelaki
Membuatku menginginkan
Berjuta wanita di sisiku
Naluriku sebagai lelaki
Membuatku merindukan
Pujaan dari wanita

(Samson, Naluri Lelaki)


Well, tadi malem aku tidur diiringi lagu ini dari tv. Eh, bukannya jadi lagu nina bobo, malah aku jadi mikirin lagu ini. Sebegitu rendahnyakah seorang lelaki, sehingga dia sangat merindukan sejuta wanita? Sebegitu pentingkah menjalin hubungan? Bukankah sebenarnya masih banyak yang bisa dilakukan, daripada cuma gundah menunggu wanita...... Nggak guna banget!!!
Kenapa harus merindukan pujaan dari wanita?? Lagu ini semakin menajamkan stigma yang ada di masyarakat tentang pentingnya pacaran, dan orang yang nggak pacaran itu aneh banget! See??

Tolong dekati aku
Tolong hampiri aku
Tolong jamahi aku
Agar aku bijaksana
Agar aku bahagia
Agar aku merasakan cinta
--> apakah dengan jamahan wanita, seorang lelaki serta merta bijaksana??? Hanya dari itukah kebahagiaan berasal?? HELL, FUCK!!! Pardigma masyarakat saat ini memang benar-benar aneh! Masih banyak yang bisa dilakukan dalam hidup ini selain hanya mencari wanita, mencari jamahan dan belaian wanita. Hell with jablay!!

Thursday, October 19, 2006

Freak Out neh........

Baca judul di atas pasti semua pada kaget. Tapi memang begitulah kenyataannya... This man without fear (er, kecuali gelap... hihihihihi) bisa freak out juga. Dan kali ini freak out gara-gara cewek.. WTF!!!!

Nah, kejadiannya tuh kemaren Sabtu, waktu English Mass. Kan kita makan tumpeng nasi kuning, tanda ulang tahun English Mass. Waktu itu ada cewek (adek kelas....) yang ada di sebelahku. Aku nanya, "Kamu nggak makan?"
- "Er, aku masih kenyang. Gimana kalau aku paroan aja ama kamu?"
* "Ya, boleh!"

Nah, aku terus ambil nasi kuning itu, sepiring, tapi sendoknya dua.. Gak ada bayangan apa-apa seh (sehubungan dengan komitmen untuk ga pacaran n nyari pacar selama setahun ini.. Bukan apa-apa seh, cuma jadwal bener-bener padat. N aku menikmatinya.....). Rasa GR pun gak keluar.

Nah, di nasi kuning itu kan ada ayam. Dikit seh, ga semua kebagian. Untungnya aku termasuk yang kebagian. Ternyata, si cewek ini (inisial P!) ngambilin ayamku. Dia nyuwirin aku dan ndulang aku pake ayamnya. Aku agak kaget juga seh... Dia malah nggak makan. Habis itu, ketika aku mau nyuwir ayam sendiri, dia bilang, "Eh, aku aja yang nyuwirin. Nanti tanganmu kotor!" Pas aku nanya, kenapa dia gak makan, dia jawab, "Aku cuma mau nyuwirin kamu aja kok!"

Nah, berhubung aku makannya agak liar, abonnya jatuh ke badanku. Dari dada ampe paha. Eh, dia langsung ambil tissue n mbersihin semuanya.

OKE, mungkin kalian semua mikir kalo dia naksir aku, dan aku bingung. NOPE! Masalahnya bukan itu, tapi si cewek itu agak aneh, dan aku memang dulu sempet naksir. Tapi setelah tau naturenya, aku ilfill. Nah, kemaren itu... SUMPAH, GUA BENER-BENER FREAK OUT...............

Aku Menyayangimu

“Kalian pacaran ya?” tanya teman terdekatku.
Aku menggelengkan kepalaku perlahan. Pertanyaan yang sangat lugas dan terlalu sering kudengar. Hanya karena kami terlalu sering bersama-sama, dan tiba-tiba saja semua orang berpikir bahwa kami adalah sepasang kekasih. Begitu naif dan sederhana pikiran mereka itu, seolah tidak menyadari bahwa ada makna yang lebih besar dari semua itu, bagaikan sebuah danau yang tidak terselami. Apakah sedemikian dangkal pengertian orang-orang itu akan arti dan makna dari sebuah kasih?
“Aku hanya menyayanginya!”
“Tapi, kalian selalu bersama, tidak pernah kehilangan kontak barang sedetiku pun. Kalian selalu terlihat mesra dan sudah tidak terpisahkan, bagaikan perangko dan amplop! Kenapa kalian menyangkal hubungan ini? Toh, tidak ada orang yang keberatan dengan hubungan kalian ini!”
Aku membisu dan menatap temanku itu dengan pandangan penuh arti. Akan tetapi ia tidak akan pernah mengerti arti sebenarnya dari hubungan kami ini. Baginya dan kebanyakan orang, ketika dua orang berlainan jenis berhubungan terlalu dekat, itu adalah pacaran, cinta, dan kasih. Pelabelan yang terlalu luas untuk itu. Jawabanku hanyalah seutas senyum simpul di bibirku yang kuberikan sembari berlalu.

Waktu terus berlalu, dan orang-orang masih terus mempertanyakan hubunganku dengan Beth. Kami masih saja terlihat sangat dekat dan intim, walaupun sebenarnya masing-masing dari kami memiliki ketertarikan kepada orang lain. Aku menaruh pandang pada teman sekampusku yang baru, sedangkan Beth sudah mulai mendekati salah satu teman lamanya.
“Jadi, kalian akhirnya pacaran?” tanya Ronald, salah satu sahabatku semenjak SMA.
Aku menggelengkan kepalaku untuk kesekian kalinya. Selalu saja pertanyaan yang sama, dangkal dan sempit. Tidakkah sedikitpun mereka mau mengintip masuk ke dalam hubungan kami yang sebenarnya? Selalu saja pelabelan pacaran dan tidak pacaran. Apakah hanya kata pacaran saja yang ada di benak semua orang? Sepenting itukah sebuah pacar?
Aku menjawab dengan tenang, sama seperti semua pertanyaan terdahulu, “Aku hanya menyayanginya!”
Ronald terlihat sangat bingung. Ia terlihat tidak memahami sebuah hubungan di luar pacaran. Sama seperti semua orang lain, sebuah hubungan intim dan dekat antara seorang lelaki dan perempuan adalah pacaran.
“Jadi, kalian itu sebenarnya tidak pacaran, atau hanya belum mau mengaku saja?” tanyanya lagi.
Ia tidak mau memahaminya. Susah bagi temanku ini, dan mungkin juga kebanyakan orang, untuk masuk ke kedalaman dari kata kasih dan sayang. Semua terlalu dikaitkan dengan cinta dan pacaran, yang sesungguhnya dipahami terlalu dangkal dan kehilangan arti dan makna yang sesungguhnya.
Aku kembali tersenyum simpul, tetapi mulutku tetap bungkam. Percuma bagiku untuk menerangkan semuanya. Tubuh dan pikiranku sudah lelah dan bosan untuk menjelaskannya kepada orang yang sama sekali tidak mau mengerti.
Jauh di dalam ingatanku, berkelebat kenangan pada masa SMA ketika aku dihajar oleh seorang cowok dari kelas sebelah. Tanpa ba bi bu, ia menghampiriku yang sedang belajar di kelas sewaktu istirahat. Aku tidak melawan (mungkin memang itu kesalahanku, terlalu pasif....). Sewaktu seorang guru yang kebetulan lewat di depan kelasku mencoba untuk melerai kami dan menjelaskan pokok permasalahannya, baru aku tahu motif orang itu. Ia merasa cemburu pada kedekatanku dengan Beth.
Tidakkah ia mau mengerti akan adanya kedekatan lainnya? Kenapa mereka semua selalu curiga dengan persahabatan? Tidak bisakah kami hanya bersahabat tanpa adanya dugaan dan tuduhan pacaran?

“Li, kamu gila yah? Mau merebut pacar orang? Kamu kan tahu kalau Beth itu sudah punya pacar, masih saja didekati! Apa kamu ingin membuatnya mendua?” tanya seorang teman Beth. Ia menatapku marah, seolah tidak rela aku mengusik kebahagiaan temanku itu.
Seharusnya aku bisa marah menghadapi tuduhan tidak berdasar seperti itu, tapi entah mengapa bibirku bergerak secara otomatis membentuk senyum simpul sembari menggelengkan kepala. “Aku hanya menyayanginya!”
Sejak pertama, aku telah tahu bahwa resiko dan tuduhan seperti ini akan menimpaku. Inilah akibat yang mungkin akan kuterima ketika Beth mulai menjadikan aku keranjang sampahnya, seorang pendengar yang baik atas semua masalahnya. Ia masih menganggap persahabatan kami, dan tidak segan untuk mengungkapkan masalah yang tidak bisa ia ungkapkan kepada pacarnya itu.
Hampir setiap minggu, pasti ada saja yang ingin dibicarakan Beth denganku, segala masalahnya. Kami memang hanya berdua, tapi kami berdua menyadari peran dan kedudukan masing-masing, tidak pernah berusaha untuk melewati garis batas yang ada. Kenapa? Karena memang apa yang terjadi di antara kami hanyalah sebuah persahabatan murni.
Tidak! Aku tidak takut akan apa yang mungkin akan terjadi, karena memang aku tidak pernah bermaksud lain. Semua ini murni kulakukan demi persahabatan, bukan demi nafsu menjadikan ia pacarku.
“Sadar dong! Beth sudah punya pacar! Dunia tidak cuma selebar daun talas. Masih banyak perempuan lain, dan kenapa kamu harus mengganggu orang yang sudah dalam masa pacaran? Kamu mau dia menderita karena kamu dan segala ketidak jelasanmu itu?” bentaknya.
Jauh dalam hatiku, perasaan geli yang senantiasa muncul pada saat-saat seperti ini kembali melayang naik ke permukaan. Tuduhan tidak berdasar, kemarahan tanpa bukti, seolah aku memang sudah ditakdirkan untuk menjalani semua ini ketika mulai menjalin persahabatan dengan Beth.
Haruskah selalu persahabatan dan cinta disalahartikan? Haruskah sebuah cinta diagungkan diatas segalanya, di atas persahabatan dan persaudaraan? Kenapa pula dengan paradigma masyarakat kita ini, yang mengagungkan dan meninggikan konsep berpacaran? Seakan sudah tidak ada tempat lagi bagi hubungan lain yang lebih murni dan mendasar!
Aku tidak membuka mulutku, hanya mengangkat kakiku dan melenggang pergi dari tempat itu. Masih diam, tidak ingin menanggapi dan memperpanjang masalah ini, aku tersenyum simpul pada orang itu.

“Ali! Ada berita baru! Si Beth sudah tidak perawan lagi. Beritanya sampai masuk koran tadi pagi! Dia.....dia.....” ucap Ronald terengah-engah. Dia berlari mengejarku yang hanya menoleh ke arahnya penuh keheranan. “Pacarnya memperkosanya!”
Saat itu juga, hatiku bagaikan tersambar petir di tengah siang bolong. Seorang teman dekatku..... Seorang sahabat dan saudaraku, mengalami hal seperti itu. Badanku seolah-olah kaku dan otakku mulai membeku. Tidak bisa memberikan reaksi yang tepat. Secara refleks, kepalaku bergerak sendiri, menggeleng dan bibirku tertarik ke kiri dan kanan, tersenyum. “Aku tetap menyayanginya!”
“Tapi, tidakkah kau akan kecewa padanya? Kehilangan keperawanannya pada orang lain? Masihkah kau menginginkannya menjadi pacarmu?”
Perasaanku bercampur aduk pada saat itu. Di satu sisi, aku masih mencoba mengatasi keterkejutanku atas berita itu. Akan tetapi, di sisi lain, perasaan geli mulai muncul karena pertanyaan dari Ronald mengenai ketertarikanku pada Beth. Masih saja di saat seperti ini asumsi itu muncul! Di waktu dan saat seperti ini? Selalu saja asumsi yang diperoleh dari paradigma masyarakat mengenai konsep keagungan pacaran!!
Aku tidak menjawab. Mulutku tidak mampu berkata-kata. Yang bisa kuberikan hanyalah seutas senyum kecut di bibir sembari melangkah pergi dengan kepala tegak.

“Li, aku sudah tidak perawan lagi!” isak Beth di depanku. Wajahnya basah, penuh dengan bekas air mata. Ekspresi yang ada di wajahnya sudah sangat kacau, dipenuhi depresi, kesedihan, penyesalan, dan kemuakan atas dirinya sendiri. Matanya memandang ke bawah, seolah tidak berani untuk menatapku, malu akan keadaan dirinya sendiri.
Kepalaku menggeleng perlahan. Hatiku seolah melayang naik turun ketika melihat seorang wanita yang kusayangi hancur berantakan di hadapanku. Wanita, saudara, dan sahabatku, dipenuhi dengan kesedihan dan hati berkeping-keping. Tanpa terasa, air mataku menetes bersamaan dengan air matanya.
Secara refleks, aku tersenyum dan membuka mulut. “Aku tetap menyayangimu!”
“Tapi, dengan keadaan seperti ini? Dengan aib yang tercoreng di mukaku! Dengan semua penghinaan ini? Masihkah kau rela menganggapku sebagai seorang sahabat dan saudara?”
Aku mengangguk. “Seorang sahabat selalu ada ketika kau butuhkan. Apapun adanya kamu, aku akan selalu menjadi sahabat dan saudaramu. Hinakah aku untuk meninggalkan persahabatan kita selama ini? Aku sudah menjalani banyak tuduhan palsu dan kemarahan, karena kecurigaan mereka atas hubungan kita. Dan haruskah itu semua pergi dengan sia-sia ketika aku memutuskan untuk meninggalkanmu juga di saat seperti ini? Itu semua bukanlah sesuatu yang dsia-sia!”
Ia menengadah, mencoba menatap mataku. Sebuah senyum kecil tersungging di kedua bibir kami. Ia meraih dan memelukku sembari terisak. “Terima kasih!”
Aku rasakan hangat tubuhnya. Kehangatan lembut dari pelukan seorang saudara..........


Yogya, 1 Agustus 2005

Wednesday, October 18, 2006

Luka Buana

Kota ini dipenuhi dengan bintang-bintangnya sendiri, yang justru bercahaya lebih terang daripada permata-permata yang bertaburan di hamparan langit hitam kelam di malam ini. Bahkan sang candra yang menampakkan seluruh wajah dan mukanya tanpa malu-malu pun seolah telah tertutup oleh kabut yang membuatnya tidak seceria abad-abad yang lalu.
Tidak jauh dari situ, persisnya di hamparan bumi, orang-orang mulai bergerak untuk kembali masuk ke dalam peraduan mereka yang nyaman dan hangat, tinggalkan udara dingin yang membelai sumsum mereka dengan sangat keras. Suara-suara mulai berkurang, tinggalkan semua sudut kota di dalam kesunyian yang terbalut oleh kilauan lampu-lampu kota.
Sunyi, hanya sesekali terdengar suara mesin kendaraan yang lewat di jalan besar itu. Yang ada hanyalah suara perlahan desingan nyala lampu yang senantiasa terlupakan dan tidak pernah terperhatikan. Sosok-sosok gelap mulai mengambil alih kota itu, menguasainya di dalam kerajaan malam yang hening dan meditatif.
Dari tengah pelukan malam itu, terdengar sebuah langkah kecil dari seorang wanita muda yang memeluk dirinya sendiri. Sepanjang jalannya, yang ada hanyalah sosok-sosok tubuh orang yang tidur di emperan toko, mencoba mencari sepercik kehangatan di balik penutup tubuh mereka yang seadanya. Sesekali terdorong oleh rasa penasaran akan suara gema langkah kakinya sendiri, ia menoleh untuk melihat siapakah yang berjalan di belakangnya. Dan yang didapatinya hanyalah sepi yang meraja.
Ia menghela nafasnya lega dan berbisik dengan suara lirih, “Wajah kotaku di malam hari..... Beda.....”
Sesosok asap tipis yang mengepul dari ujung jalan itu menarik perhatiannya. Dengan tangan mengencangkan jaket yang dipakainya, ia segera menuju ke arah itu, berharap menemukan teman untuk malam ini.
Benar, di sana ia menemukan seorang lelaki yang sedang menikmati rokoknya. Terjaga dan sadar di tengah gelapnya malam, yang berada di antara tubuh manusia yang tertidur di sekitarnya.
“Malam, mas!” sapa wanita itu memberanikan diri.
Ia menoleh ke arah wanita itu, meneliti dan mengamati keseluruhan sosok itu, kemudian membuang pandangannya, meneruskan rokok yang sedang dihisapnya.
“Boleh saya duduk di sini?”
Ia kembali mengacuhkannya.
Wanita itu membungkukkan badannya dan mengambil tempat di samping si lelaki.
Lelaki itu tidak menoleh ke arahnya, malah semakin asyik memainkan asap rokoknya dengan pandangan menerawang ke arah langit.
“Mas anak kos?”
Diam, berpadu dengan kesunyian sang penguasa gulita.
“Sudah lama nongkrong di tempat ini?”
Asap tipis itu tetap bergulung di udara, membentuk gambaran-gambaran luwes yang indah, bagaikan patung-patung yang dipahat dari kaca buram, dengan segala lekukannya yang mempesona. Ia bergerak bagaikan seekor ular lincah yang meliuk-liuk, mencoba untuk membuat sebuah seni temporer yang sangat indah.
Wanita itu menoleh dan tidak melepaskan pandangan darinya. Sementara, si lelaki tetap berada di dalam dunianya sendiri.
“Saya Ila,” ucap wanita itu.
Ia tidak mendengarkan.
“Mas siapa?”
“Pulanglah!” bentak si lelaki. Matanya tetap terfokus pada gelapnya malam yang diiringi suara lembut sang bulan yang menari di balik kelambu tebal dan deik lampu jalanan.
Wanita itu tidak beranjak. Ia menggeleng dengan lembut. “Saya tidak bisa tidur. Toh, rumah saya hanya di gang sebelah.”
“Tidak baik seorang gadis keluar di tengah malam seperti ini,” suaranya dingin, tanpa emosi. Matanya tetap menerawang ke depan, sama sekali tidak menatap lawan bicaranya.
“Saya hanya ingin menghabiskan malam ini, masuk dalam kesunyiannya,” jawab Ila.
“Kesunyian? Huh!” ujarnya. “Kau mau masuk ke dalam kesunyian malam? Pulanglah! Kau tidak tahu apapun tentangnya!”
“Mas siapa?”
Ia menghembuskan nafas rokok itu lagi ke udara, sekali lagi mengeluarkan ular asap itu, yang membumbung naik dengan menggeliat meliuk.
“Aku bukan siapa-siapa.....”
“Maksudku, nama mas? Itu kalau mas tidak keberatan.....”
Ia menoleh. “Apalah artinya namaku? Aku tidak pernah ada, dan hanya hadir untuk dilupakan....”
Ila menghembuskan nafasnya perlahan, seolah-olah berharap dapat juga mengeluarkan liukan sang naga dari mulutnya untuk kemudian menari di langit malam itu, sembari menari melenggak-lenggok membentuk sebuah karya seni.
“Pulanglah. Kau gadis baik-baik, dari keluarga baik-baik. Jangan di sini. Ini bukanlah tempatmu!” ujarnya.
Ila menggeleng. “Apa yang salah dengan keberadaanku di sini? Aku punya hak untuk ini!”
“Apa yang salah?” tanya si lelaki ketus. “Semuanya salah. Kau tidak seharusnya memasuki tempat ini!”
Diam sejenak, seakan sang penguasa malam beranjak bangkit dari singgasananya dan mengucapkan sebuah sabda kesunyian yang memenuhi seluruh balairung istananya. Hanya desiran angin dingin dan getaran lembut lampu jalan yang menyala memasuki dan menari di telinga kedua orang tersebut.
Telapak tangannya bergerak perlahan, menyapu pipi Ila. Ia mendesah pelan, sebelum akhirnya melepaskan tangan itu.
“Kau cantik, gadis murni tak bernoda.....”
“Apa maksudmu?” tanya Ila ketakutan.
“Dan sekarang kau takut!” sahutnya. “Bagus! Takutlah, dan segera pergi dari sini! Ini bukan duniamu!”
“Kau.....”
“Masa depanmu terbentang luas nan jauh di depan. Tinggalkan kesunyian ini, dan kembalilah ke duniamu. Kau tidak akan mendapatkan apapun dari sini!” kata si lelaki, berusaha menyingkirkan Ila dari tengah kenyataan dingin malam.
Ila tergagap. Nafasnya memburu. Ketakutan. Penasaran. “Sebenarnya, apa yang kau mau dariku?”
“Jangan masuki kesunyian ini. Tempat ini adalah hutan belantara pengasingan bagi orang-orang yang tidak diterima oleh masyarakat. Manusia-manusia yang dianggap sampah oleh sekitarnya!” ucapnya tegas.
Wanita itu menggeleng. “Aku.....aku tidak tahu maksud semua perkataanmu itu!”
“Lihatlah sekitarmu! Kau tidak akan menemukan sepercik pun cahaya dari dunia siang. Lihatlah sekelilingmu, yang ada hanyalah orang-orang terlupakan, yang telah lama disingkirkan dari siang,” jawabnya. “Dengar, kau tidak pantas untuk ini. Dirimu bukan dan tidak akan pernah menjadi bagian dari kami! Ketenaran dan perhatian akan dan telah menjadi bagian integral di dalam hidupmu!”
Asap kembali menghembus dari mulutnya. Nyala bara di ujung rokok itu menjelma menjadi sebuah bintang yang turun dari langit. Bintang berwarna jingga kemerahan yang panas. Bersinar dan berkilat di tengah gempuran sinar lampu jalan yang berdengung lirih.
Lelaki itu diam, tapi matanya nanar menatap Ila. Seribu hantu dan bayangan masa lalu seolah berkelebatan di depannya. Ada luka menganga dan koreng bernanah yang tersirat dalam tatapan itu, siap mengucurkan darah yang membanjir. Penderitaan dalam menahan sungai darah itu berkilat sekilas bagaikan bintang jatuh, dan kembali menutup dalam pandangan kosong.
“Duniamu tidak jauh berbeda dari dunia siang. Kau bukanlah seseorang yang berbeda dari mereka semua! Pergi dan jangan menyiksa siapapun. Tidak dirimu, bukan diriku, dan jangan pula kami!!”
Ila menahan nafasnya, mencoba mendengarkan suara dirinya sendiri. Tiba-tiba terdengarlah sebuah suara gaduh di belakangnya. Glodak glodak!!! Seekor kucing liar baru saja lewat dan menyenggol sebuah tong sampah. Beberapa orang yang tengah tidur di jalanan itu terbangun sejenak, mencoba mencari sumber suara itu. Mereka tersenyum melihatnya dan kucing itu, kemudian kembali tidur.
“Kau..... Aku sama sekali tidak mengerti semua ini!”
Si lelaki mengangguk perlahan sembari menghisap rokoknya kembali. “Tentu saja! Jelas tersirat di dalam wajahmu – dan juga semua wajah siang yang lain –ini semua adalah sesuatu yang asing! Kalian tidak pernah mengerti, dan tidak akan pernah sampai kapan pun juga!” Terhenti sejenak. Kepalanya menunduk. “Karena kalian tidak pernah mencoba mengerti.....,” sambungnya lirih.
“Mengerti?”
“Ya! Kalian selalu menyingkirkan semua yang tidak bersinar dengan listrik. Kalian memuja cahaya artifisial itu, mencoba untuk menggantikan sang surya tua dengannya. Sementara semua pemuja bintang, bulan, dan matahari diperlakukan bagaikan paria. Lupa sudah bahwa semua itu adalah awal dan dasar dari semua cahaya!”
Breeem!! Sebuah mobil dengan plat luar kota itu melintas persis di depan lelaki itu dan Ila. Lampunya seolah memecah kegelapan malam, mencoba untuk menjadi sang candra yang turun ke dunia.
“Dan lihatlah kini! Tidak ada lagi pesona malam penuh bintang. Terganti oleh malam benderang, meski dengan sudut-sudut gelap tak terjamah sinar palsu itu, yang dihuni oleh para pemuja cahaya angkasa. Masyarakat paria yang terlupakan. Makhluk buangan yang memilih kesunyian sebagai pengasingan mereka, sebagai tempat dimana mereka tetap dapat menjadi diri mereka sebagaimana diciptakan oleh alam.....”
Ila mengulurkan tangannya, menjamah dan meraba wajah si lelaki. Ia tidak bergerak. Tangan kecil itu menyentuh kumis dan jambangnya yang tidak rapi. Wajah itu tidak rapi, seolah telah dibakar dengan sebuah sentuhan panas membara dari derita. “Jadi, malam adalah tempat pelarian orang-orang terluka sepertimu?”
“Sudah kubilang, kau tidak akan pernah mengerti!”
“Apa aku salah?” jawab Ila tersentak.
“Malam bukan tempat pelarian paria, melainkan tempat pengasingan paria! Tempat para pemuja bulan dan cahaya lazuardi lainnya terusir karena cahaya daratan!” ujar lelaki itu ketus, sembari menarikan kembali sang naga asap untuk kesekian kalinya.
Ila terdiam. Di atas cakrawala, sang candra bulat sempurna menari di atas hamparan beludru hitam, mencoba menorehkan sentuhannya yang paling lembut di atas keheningan.
“Kami tidak berarti, orang-orang yang terlupakan. Dilupakan oleh dunia, hanya karena kami tidak sama dengan mereka. Konsekuensi dari pilihan kami untuk menjadi berbeda, di tengah masyarakat yang menginginkan keseragaman.
“Tapi kau....... Kau lain dari kami. Kembalilah ke habitatmu, wahai wanita! Kau seorang mapan dengan kemampuan untuk beradaptasi dengan baik pada seluruh dunia ini!”
“Kau terluka!” sahut Ila pelan.
“Luka? Apa yang kau tahu tentang luka? Malam adalah tempat perlindungan orang yang terluka, yang menyembunyikan goresan dan parut-marut kami!”
Ludah Ila tercekat sebelum membuka mulutnya. “Kau ditinggalkan dan dicampakkan. Siapa dia?”
Lelaki itu menoleh, menghela nafas, melanjutkan isapan rokoknya sebelum akhirnya menjawab dengan suara bergetar, “Namanya Damai. Wanita itu mencampakkanku karena malu akan aku. Malu akan segala perbedaan yang ada di dalamku. Damaiku tersayang, yang mencampakkanku karena tekanan dunia padanya.....” Ia terdiam dan menundukkan kepalanya.
Tangan Ila maju dan membelai rambutnya, yang dalam sekejap ditepisnya. “Tahu apa kau tentang luka? Tahu apa kau tentang malam? Tahu apa kau tentang beda? Tahu apa kau tentang Damai?” sergahnya cepat. Suaranya masih bergetar, dipenuhi dengan emosi.
“Aku memang tidak tahu apapun tentangnya? Tapi, tidakkah aku boleh mengetahuinya?”
“Pergilah! Pergi dari hidupku, dan lupakan aku. Kami hanyalah orang-orang terbuang, manusia tak terjamah, penderita kusta di zaman modern, makhluk terlupakan. Kau terlalu tinggi bagi kami, terlalu menyilaukan bagi mata malam kami,” ujarnya. “Pergilah!” sahutnya setengah tercekat.
Ila bangkit berdiri perlahan dan mengancingkan erat jaketnya dengan tangannya. Matanya tidak bisa lepas dari lelaki itu. Baru saja mulutnya membuka, lelaki itu sudah mengangkat tangannya.
“Ssst, diam! Jangan berkata apapun. Biarkan aku tenggelam di tengah lautan tanpa suara ini!”
Wanita itu berbalik. “Setidaknya, sebelum aku pergi, katakan saja siapa namamu!”
Ia tidak menjawab. Ila berjalan semakin menjauh, sebelum akhirnya terdengar sebuah suara kecil bagai bisikan, “Aku Buana, yang terlupakan!”
Ila membalikkan badannya, hendak berterimakasih. Akan tetapi, yang didapatinya hanyalah kebulan asap rokok yang tipis dan indah membumbung tinggi ke angkasa. Selebihnya, semua sunyi.

Monday, October 16, 2006

Friends..............

Just a little thought as I look back on my past.......

You were my friends, a close friend
And I would gladly help you, under any circumstances
And I would gladly be your friend.....

We share many moments,
from different point of views.
We share many times,
arguing and agreeing each other.

The memory is not blur yet,
how I defended you in front of people (though you may not know it)
how I lent you the copy of my work,
so that you might edit and submit it as your own report....
how I promoted and brought you to the world you enjoy that much.....
how we used to talk about weird stuffs we can't share to anyone else (cause they don't know)
how you gave me advice to face the world with maturity, as I was younger then.....
how I used to remind you of time management
ring you when you forget everything.......

And on the other side, the other memory is not faded yet
memory of your mocking me,
memory of humiliation in front of the public
memory of the clash, involving bigger institution
memory of the one that started it all, the simple misunderstanding
memory of bearing the mockery you didn't realize giving me,
memory of bearing the loneliness in capital city, without you realized it

We both are hard and stuborn,
controlled by our egos,
both you and I.....

But just to let you know,
I'm still considering you as one of my friends....
HELL WITH YOUR FEELING!!!!!
You were and are my friend