Saturday, September 01, 2012

Kepada seorang wanita


Halo wanita,


Apa kabarmu saat ini? Semoga kau senantiasa diliputi kebahagiaan tanpa peduli betapa beratnya cobaan yang mungkin menanti di depan. Satu hal yang aku yakini, seiring dengan bertambahnya waktu, kau telah bertumbuh menjadi semakin kuat dalam menapaki hari-harimu.

Mungkin ini semua terasa aneh bagimu, sepucuk surat dariku yang sudah lebih dari tiga tahun tidak mengghubungimu secara intens. Ah, mungkin malah bisa dikatakan bahwa kita hampir saja kehilangan kontak. Yah, harus kuakui bahwa beberapa minggu belakangan ini namamu secara tiba-tiba hadir kembali di dalam keseharianku. Banyak topik pembicaraan yang entah mengapa selalu menjurus ke keberadaanmu dalam masa laluku. 

Semua pembicaraan itu perkahan tersusun menjadi sebuah kaca benggala nan luas yang melingkupi seluruh tubuhku. Aku melihat kembali semua hal yang sudah kulakukan dan kukatakan kepadamu. Refleksi dari kaca benggala tersebut membawaku kembali ke masa lalu dan memberiku perspektif baru dalam melihat apa yang sudah kulakukan padamu. 

Kegagalan dalam upaya terakhirku dalam menjalin hubungan mengingatkanku akan hal-hal yang dulu kubenci dari hubungan singkat kita. Ya, kau bukanlah seorang yang terburuk di dalam perjalanan hatiku. Harus kuakui bahwa aku menjalani sesuatu yang pernah kubenci dari cara kita berinteraksi dahulu. Lebih buruk malah mungkin kau akan berkata. Tapi yang mengejutkanku adalah bahwa aku ternyata bisa menjalani sesuatu yang lebih buruk itu. Hal-hal tersebut yang menyadarkanku atas dosa-dosa masa lalu tersebut. 

Aku menilik kembali dan mulai tercerahkan bahwa apa yang kau lakukan dulu itu memang dilandasi oleh perasaan sayang yang sangat besar. Hanya mungkin aku masih terlalu muda untuk melihat semuanya, masih terlalu hijau untuk menyadari apa yang sebenarnya aku maui, dan masih terlalu naif untuk menyadari bahwa tidak ada sesuatu hal yang sempurna di dunia ini. Ya, saya terlampau gegabah di masa lalu. Mungkin saja masih sama gegabahnya saat ini, tapi setidaknya benak dan pikiran ini terbuka sudah. 

Tapi apa yang kulakukan padamu pada waktu itu? Aku memperlakukanmu seperti seonggok sampah yang tidak berharga. Aku meludahkan kembali segala bentuk perhatian yang kuanggap berlebihan itu. Seandainya aku lebih dewasa pada waktu itu, mungkin kita akan duduk bersama dan membicarakan semua hal yang mengganggu tersebut. Duduk berhadapan dan bersama-sama mencari jalan tengah yang tidak menyakiti kedua belah pihak. Sayang, aku tidak melakukannya. 

Ketika aku mengingat kembali apa yang kukatakan padamu malam itu, aku merasa menjadi seorang lelaki yang tidak memiliki hati. Tidak ada sama sekali kata penyesalan atau sepatah permohonan maaf, bahkan setelah kau hampir menyakiti dirimu sendiri. 

Tapi nasi sudah menjadi bubur. Luka sudah tertoreh dan bekasnya di hatimu tidak akan bisa dihilangkan. Maka, perkenankanlah aku dengan rendah hati memohon maaf kepadamu. Aku bertelut di hadapan lututmu yang mungil, mencoba untuk menghapus luka batinmu dengan simbahan air mata yang menetes satu demi satu ini. Karena kebodohanku, aku baru menyadari semua kesalahanku padamu. Maukah kau memaafkanku dan menyambut peluk persahabatan ini?


Gamping, 1 September 2012