Wednesday, May 01, 2013

Segelibat Pikir di Hari Buruh


Tiba-tiba beberapa hari ini saya merasa sangat tidak aman dan panik dengan kondisi pekerjaan dan financial saya di Jakarta. Semua berawal dari pertanyaan seorang mantan mahasiswa yang baru saja diterima bekerja di daerah dekat tempat saya tinggal saat ini. Dia sontak terkaget-kaget ketika mengetahui harga sewa kost di seputaran daerah tersebut. Menurut gadis muda ini, dengan biaya semahal itu kemungkinan besar dia tidak akan bisa menabung. Ironisnya, gaji awal si mahasiswi ini sebenarnya jauh lebih besar dari gajiku.

Peristiwa inilah yang mulai menarik pemicu dari semua kegalauan dan kecemasan selama beberapa hari belakangan. Ditambah lagi mulai muncul rasa cemas dengan status di kantor dan birokrasi DIKTI yang semakin tidak jelas saja. Dan yang walaupun mungkin sudah menjadi pengetahuan umum, kondisi Jakarta dan para penduduknya yang sangat konsumtif. Entah, bolehkah saya menyebut bahwa uang dan ekonomi yang menjadi mesin penggerak utama kehidupan di ibukota ini? Semua orang nampaknya berlomba-lomba mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk kemudian berpartisipasi dalam lomba lain menghabiskan uang sebanyak-banyaknya.

Dan persis di hari buruh ini, saya merenungkan kembali sejarah kehidupan saya hingga saat ini. Apakah saya orang yang tergerak oleh keinginan menjadi orang kaya dan mendapatkan uang sebanyak-banyaknya? Ataukah saya sudah mulai terpengaruh oleh pola kehidupan di Jakarta?

Pelit dan gila kerja memang sudah menjadi cap yang melekat semenjak beberapa tahun belakangan ini. Teman-teman kerja di Yogya menganggap saya sebagai orang yang tidak pernah berhenti bekerja demi mencari uang, bahkan dengan mengorbankan banyak waktu saya. Tapi yang mereka lupakan adalah bahwa dalam paruh kedua tahun kemarin saya sengaja bekerja dengan sangat keras untuk melupakan sesuatu, untuk mengalihkan pikiran saya dari sebuah trauma besar yang menghantui.

Siang ini, di meja ini, di tengah kepanikan dan kecemasan saya, sebuah suara hati perlahan berbisik dan bertanya, “Bagaimanakah kamu hidup selama ini?”

Itulah yang menjadi sebuah titik terang. Saya adalah seorang bohemian yang memuja ilmu pengetahuan dan bukan harta. Bukankah prinsip ini yang dulu sempat membawa kehancuran pada hubungan saya sebelum ini? Bukankah saya memutuskan untuk memilih sakit hati daripada mengubah pandangan hidup saya?

Dibesarkan di Yogyakarta membawa saya hidup layaknya orang-orang Yogya yang selalu mencoba sareh dan sumeleh. Mencoba untuk selalu bersyukur dan menikmati apa saja yang ada, tidak peduli seberapa banyak yang dipegang. Jika memang sedang berkekurangan, mungkin memang berarti sedang saatnya harus hidup kurang. Bukankah hidup itu layaknya roda? Tak terkecuali masalah ekonomi. Dan apabila urip kuwi mung mampir ngombe, kenapa tidak kita nikmati saja apapun minuman yang disediakan? Secangkir kopi kadang terasa hangat, kadang terasa pahit, kadang tawar, tapi kadang juga manis. Tapi, bukankah itu dinamika dalam menikmati si kopi? Segala sesuatunya hanya harus dinikmati, bukan untuk dibandingkan.  

Saya bertanya lagi kepada diri saya sendiri, apa lagi sih yang harus ditakutkan? Bukankah saya sudah pernah mengalami kelaparan selama seminggu sewaktu musim dingin sendirian tanpa teman di asrama? Bukankah saya juga sudah pernah berlatih makan dan memasak di bawah manajemen kepepet, saat-saat dimana daging thethelan sudah menjadi sesuatu makanan yang sangat mewah? Tidak bahagiakah saya waktu itu? Saya merasa sama bahagianya dengan teman-teman lain.

The grass is always greener on the other side, eh? “Urip iku wang sinawang,” begitu kata seorang teman. Jadi, kenapa saya harus kembali merasa iri dan tidak aman? Mungkin saatnya saya mengembalikan mindset burung pipit saja dipelihara oleh Tuhan, apalagi saya.

Selamat hari buruh, semuanya!