Tuesday, April 23, 2013

An Encounter with Sarasvati


Inside the bleak darkness coming from the closing of my eyes, the lips and tongue moved by their own and started chanting “Om Aing Sarasvati Namaha”. The Sarasvati mantra was never an alien thing for me, for it kept being repeated in various occasions. The Devi had already become my own mother, the personal matron for me who chased after knowledge. Million of times had the mantra been chanted in my journey of preparing each every teaching session, spoken with the hope of acquiring the perfect blessing for me, “The Tongue of Sarasvati”.

Drenched in sweat bestowed by the burning heat of midday sun rays on the peak of Mount Lawu, my flesh merged slowly with Candi Cetho’s upmost level stone floor. Along with the coming of the complete silence –occasionally broken by the mantra chant or eagle’s shriek, my mind and soul began shifting into different realm; the realm where I saw a long scroll mapping the logical flow of my mind.

Inside the solace I started to be pensive on my desire to continue the study, on the opportunity for advance education and the thirst for knowledge. It was the point where everything was translated into contemporary concepts, that my thirst for knowledge means I am thirsty for the secret behind this material world. Did that mean my thirst is equal to the thirst of blood ruling over the ancient conquerors? Wasn’t I trying to collect the ammunition to start the invasion and expansion over world dominion? Wouldn’t that be similar to my intention to sit on the peak of the world?

In a present context, I am the alternate form of savage knight. Yet the difference lies in the sword we’re wielding. Instead of harnessing an iron Zweihander, I am wielding the sharp rapier of knowledge and words. Does that transform me into a knight of Sarasvati? The servant of earthly and ascetic knowledge? Then, how does that put me in the grander context of the earth we’re living on nowadays?

Beseeching the divine power from Ma Sarasvati, the chanting kept going on and on. People might think I’m going on a trance when suddenly the darkness before my eyes turned into bluish hue. I knew something would come, but no fear nor anxiety embraced me that very moment. And there I saw, a swan flew towards me out of the blue. Not just an ordinary swan, the white vahanna swan of Sarasvati Devi. Within the next seconds, I saw Her. The goddess herself appeared before me with all of her glorious attributes, the sitar, the flower, and the four arms protruding from the back.

She did not open her lips at all, yet I could hear her saying. The divine mother of arts and knowledge told me that I did not need the divine power from her or any other deities. Gods and goddesses are just mere human beings who had perfected one of their aspects. The chanted mantra was not essentially to summon the deities, but to call upon the gods and goddesses lied inside their own soul. Everybody is essentially divine beings, yet people just need to realize that potency. What she specially told me was that I did not need any divine intervention from the deities, for from within me the power had already overflowed.

Then in a glance the Divine Mother left me back in the solitude. I knew I was grounded back to the earth. And I opened my eyes slowly.

Thursday, April 11, 2013

"Daerah" : Hasil Normativitas "Jakarta"


Setelah tinggal beberapa bulan di Jakarta, saya masih merasa sangat aneh dengan sebuah kata yang sering digunakan penduduknya. Sebuah kata sederhana yang memiliki banyak arti, tetapi sudah direduksi menjadi sebuah istilah derogatif, “daerah”. Memang beberapa waktu yang lalu, saya sempat menulis mengenai kolonialisasi yang dilakukan oleh penduduk Jakarta melalui pembentukan identitas mereka. Tetapi baru setelah merasakan hidup di tengah-tengah belantara ibukota, saya merasakan kuatnya politik identitas ini.

Hampir setiap orang di Jakarta menggunakan kata-kata “daerah” untuk membedakan kualitas mereka dengan kampung halaman mereka. Selalu ada perbedaan antara “Jakarta” dan “daerah”, walaupun tidak selalu “daerah” diidentikkan dengan hal-hal yang negatif. Yang menarik disini, dikotomi “Jakarta” dan “daerah” ini seolah membagi dua kawasan Indonesia ini menjadi Jakarta dan non-Jakarta. Dikotomi ini membawa konsekuensi generalisasi karakterisasi “daerah”. Tanpa melihat perbedaan budaya di setiap daerah, “Jakarta” menyamaratakan karakter “daerah”. Dalam hal ini, mereka lupa bahwa “daerah” pun memiliki kekhasan masing-masing, tergantung region dan letak geografisnya.

Hal ini mau tidak maumengingatkan saya pada kritik Edward Said mengenai kolonialisasi budaya, yangmenghasilkan “White” dan “Oriental”. Pada kerangka berpikir ini, “oriental” tidak memiliki kekuasaan untuk mendefinisikan diri mereka sendiri. Penggambaran“oriental” yang muncul berawal dari stereotype dan stigma yang dipegang oleh “White”. Begitu pula yang terjadi dalam dikotomi kuasa “Jakarta – daerah” ini. “Daerah”vtidak diberikan kesempatan untuk mengolah karakteristik mereka yang berbeda,tidak pula diberikan ruang pengakuan akan adanya banyak variasi “daerah”.

Kelompok “Jakarta” mengambil alih puncak dinamika kuasa yang ada sehingga mereka merasa memiliki otoritas untuk mendefinisikan yang lain –yang pada gilirannya mereduksi keberagaman yang ada.Memang, puncak dinamika kuasa dalam pembentukan dikotomi ini dimulai dari besarnya kemampuan dan kekuatan financial yang dimiliki oleh “Jakarta”. Darikapasitas ekonomi ini, mulailah muncul sebuah pembentukan hegemoni kebudayaan yang secara otomatis menempatkan dirinya sendiri di ujung pyramid dan menjadi pusat dari seluruh kebudayaan negara. Dengan meluasnya kuasa dan pengaruh kebudayaan (yang juga dimediasi oleh media massa dan daring) ke “daerah”, mulailah muncul sebuah normativitas. Normativitas kebudayaan modern yang harusdimiliki oleh semua orang, pemaksaan nilai oleh “Jakarta” kepada “daerah” mulai terbentuk karena didorong oleh hegemoni kuasa ini.

Yang cukup menarik untuk dilihat adalah karakteristik asli “Jakarta” sebagai kumpulan dari migrant (yang berasaldari “daerah”). Penyeberangan para migran ini ke dalam pusat hegemoni telah memberikan motivasi kepada mereka untuk mencari aman dan masuk ke dalamnormativitas yang dibentuk oleh pemegang kuasa. Di sinilah kasus politik identitas mulai terlihat, bagaimana sebuah kuasa dan normativitas memaksa “Others”/”Oriental” untuk meninggalkan identitas mereka dan masuk ke dalam stabilitas dan keamanan,dengan cara menjual identitas mereka yang telah terepresi. Bahkan banyak diantara mereka –yang setelah masuk ke dalam struktur normativitas- mulai melakukan reduksi terhadap kerabat dan bahkan masa lalu mereka sendiri.

Menilik fenomena ini darikacamata kritik Derrida mengenai dikotomi yang menyebutkan anggapan bahwasebuah identitas dibentuk dengan cara “othering others”, saya tergelitik untukmenanyakan alasan tidak adanya dekonstruksi sosial yang berusaha dilakukan.Sebegitu lemahnya kah kekuatan identitas “Jakarta” itu sendiri sehingga mereka mencoba meraih legitimasi dan justifikasi eksistensi mereka melalui generalisasi “daerah”? Baik Derrida, Said, maupun Nodelman mengkritisi pembentukan identitas melalui dikotomi ini sebagai salah satu bentuk insecurity dari konstruksi yang ada. Dengan represi (yang dapat dilihat sebagai kekerasan terselubung ini), bukankah hal ini mengikuti alur pemikiran kuasa dan kekerasan dari Arrendt? Di mana sebenarnya kuasa ini tidak serta merta harus dicapai melalui sebuah represi?

Pertanyaan saya yang paling utama, sebegitu lemahnya kah konsep identitas banyak manusia Indonesia? Mengapa tidak banyak resistensi kebudayaan melawan dikotomi kuasa identitas ini?

Mungkinkah konsep dinamika kuasa dan dikotomi melalui kekerasan terselubung inilah yang membuat manusia Indonesia tidak terbuka dengan penerimaan? Atau malah tidak adanya penerimaan itu yang membentuk dikotomi menyebalkan ini?

God knows…..