Sebulan sudah saya berada di bagian utara benua Eropa yang
konon katanya dingin menusuk tulang. Banyak sekali pengalaman-pengalaman
menarik yang mendatangi, termasuk kerinduanku akan Eropa yang akhirnya
terpuaskan (untuk sementara). Ada banyak keajaiban yang terjadi, ada banyak
mukjizat yang datang tanpa ternubuatkan. Dari semua itu, ada suatu peristiwa
besar yang cukup mengubah arah hidupku.
Dua hari terakhirku di Indonesia tahun ini membawaku ke
sebuah kencan buta. Semua diawali dari kunjungan rutin ke dokter gigi.
Kebetulan, si dokter gigi langgananku ini adalah seorang dokter yang sangat
usil dan hobi menjadi mak comblang antara orang-orang yang dikenalnya. Hebatnya
lagi, hasil percomblangannya sebagian besar berhasil. Salah satu hasil keusilan
tangan dan mulutnya adalah percomblangan seorang sahabatku sendiri yang akan
berjalan ke pelaminan di bulan Januari mendatang. Nah, si dokter gigi ini dulu
pernah mencoba mencomblangkanku dengan seorang temannya. Sayang seribu sayang,
ada sebuah kelemahan dalam rencananya saat itu – si temannya itu ternyata masih
dalam status berpacaran dengan orang lain. Saking penasarannya, dia mencoba
lagi mencomblangkanku untuk kedua kalinya.
Semua konspirasi dan rencananya berjalan mulus. Aku bertemu
dengan seorang dokter gigi manis untuk makan siang bersama. Jujur saja, si ibu
dokter gigi ini memang memiliki paras yang cukup rupawan dan sederhana. Ia
berasal dari keluarga baik-baik dan sudah memiliki karir yang cukup stabil.
Kurang apa lagi, coba?
Seandainya saja si ibu dokter ini bisa mengerti dan memahami
idealisme saya dalam menuntut ilmu. Mungkin itu yang cukup mengganjal. Dari
percakapan yang ada (dan juga dari post-date report oleh dokter gigi langganan
saya), ternyata si ibu dokter juga memiliki ketertarikan kepadaku. WHOAAA!
Jarang-jarang kan ada orang yang tertarik pada manusia aneh seperti ini? Hanya
saja, dia sudah memiliki visi untuk membangun karir dan keluarga di Indonesia.
Berkali-kali ia melontarkan gagasan agar saya berhenti setelah menyelesaikan S3
dan kembali bekerja di kota kelahiran saya.
Mungkin pengaruh usia saya yang sudah mulai menua dan
banyaknya teman-teman yang sudah mulai berkeluarga, godaan itu mulai merasuki
pikiran. Apakah memang ini jalannya? Apakah memang saya harus kembali pulang
dan membuang semua asa dan harapan yang sudah terajut selama bertahun-tahun,
semua mimpi yang menjiwai setiap langkah dan resiko yang sudah terambil. Semua
itu sempat tercurah dalam sebuah status yang tertulis, mengenai jalanan yang
terbelah menjadi dua simpangan. Jalan tempatku masih bersikeras mengejar mimpi
– jalanan yang tidak rata dan berbatu – serta jalan di mana aku bisa
mendapatkan kehidupan yang nyaman. Dilema itu menyerangku berkali-kali, hingga
dalam keputusasaan, aku berpikir untuk menjalani jalanan yang nyaman itu. Saya
nyaman, hidup mapan, semua senang. Selesai. Happy Ending! Toh jalan ini akan
membawaku kepada sebuah masa depan yang pernah terbesit dan tertulis dalam
sebuah cerita dari tahun-tahun putih abu-abu.
Biarlah Swedia dan Macau menjadi petualangan terakhirku,
sebelum akhirnya aku merantai diriku sendiri di Yogyakarta; sepercik pikir
menyala lemah di dalam kepala. Mungkin ini akan menjadi pelabuhan terakhirku,
tempat aku bisa beristirahat tanpa terbeban semua mimpi-mimpi besar.
Hanya selang beberapa hari setelah mendarat di Swedia, aku
bertemu dengan seseorang. Tak ada harapan dan ekspektasi apapun, karena aku
sudah lelah sakit hati. Tetapi ada sebuah kalimat darinya yang mampu membuatku
luluh, “Aku ini seorang dokter. Di manapun kamu akan berkarya kelak, aku tetap
dapat mendampingi dan mengikutimu!”
Kata-kata itu seolah menumbuhkan kembali sayap yang pernah
kurobek sendiri. Bukan lagi cinta tai kucing atau romantika mendayu-dayu yang
ia tawarkan. Bukan juga kehidupan dan stabilitas yang disodorkan. Ia datang
memperbaharui mimpi dan harapanku. Saat kami saling mengikat komitmen dalam
sebuah hubungan pacaran, ia menjadi separuh sayap yang mengepak dalam
perjalananku. Semua asa dan cita-cita yang sudah siap kutanggalkan, dijahitnya
baru dan dikenakannya erat membalut jiwa dan ragaku.
Mungkin, inilah keajaiban yang ditawarkan Swedia.