Bagong menemukan Semar tergolek tak bernyawa di atas peraduan pada suatu pagi. Di sebelahnya, ada sepucuk surat untuk Bagong
Bagong anakku,
Bapak pamit mati,
le. Ini keputusan
sing wis dak pikir dawa. Lebih baik bapak mati baik-baik di rumah sendiri, di kasur sendiri daripada di tempat lain yang
ndak ada orang kenal. Sejelek apapun
pendhapa Punakawan ini, tetep aja ini rumah kita. Walaupun sudah mau rubuh, tapi ada banyak kenangan. Rasanya baru kemarin kamu nangis karena ditinggal
kangmas-kangmasmu, Gareng dan Petruk. Ah, sekarang
thole-tholeku sudah dewasa semua. Cuma kamu, le, satu-satunya yang masih mau
ngerumat pendhapa ini. Bapak
wis ndak berharap kang Gareng dan kang Petruk pulang. Mereka sudah bahagia di kota dengan keluarganya masing-masing.
Sudah beberapa minggu ini bapak dengar
rasan-rasan tetangga. Mereka sudah
sepet melihat rumah kita ini. Katanya, jaman modern kok masih tinggal di
pendhapa kuno. Merusak pemandangan, menurut mereka. Eh, pas bapak
jagongan dengan pak Tarno yang di sebelah, katanya banyak yang sudah pergi ke Dinas Tata Kota untuk minta ijin merenovasi rumah kita.
Ealah le, renovasi itu
jebul maksudnya mereka mau
ngrubuhke pendhapa ini dan
mbangun yang baru. Wah, bapak ya cuma bisa
ngelus dada dengar cerita itu.
Yah, kalau dilihat-lihat, memang rumah kita itu sudah beda dengan rumah yang lain. Rumah pak Amat yang ada di seberang jalan itu kelihatan bagus. Catnya putih, lantainya keramik, pake hiasan di atasnya. Banyak orang yang sering main ke sana,
jagongan tiap malam.
Ketoke mereka pesta besar-besaran. Lha tiap kali selalu pake
toa.
Banter tenan, sampai bapak kadang
ndak bisa
nggayemi uyon-uyon kalau malam.
Yang di seberang
kali, kalau kamu perhatikan, ada rumahnya pak Kris. Seminggu sekali juga selalu ada pesta disana. Kalau kata orang-orang, selalu ada makan besar. Musiknya macem-macem,
le. Wah, sayang bapak ndak bisa dengar. Lha jauh je, di seberang kali. Anak-anak muda kalau
dolan ke sana selalu
macak. Wah,
kinclong-kinclong, le. Coba kamu lebih sering ada disini, pasti seneng nonton
pacakane. Rumahnya
apik tenan, rumah kita kalah jauh
wis.
Lha rumah kita? Dari kayu yang sudah hampir kropos. Gelap,
ndak pake toa atau musik aneh-aneh. Yang ada cuma suara jangkrik kalau malam. Kadang bapak masih
nyetel uyon-uyon kalau pas sepi, dari kaset yang dulu kita beli waktu jalan-jalan ke pasar Beringharjo. Kalo menurut bapak, itu bikin hati
adem dan
ayem. Eh, kata orang-orang itu, musik yang sering bapak putar itu
medeni. Musik untuk manggil setan, katanya.
Wah, banyak yang ndak
ngelingi. Dulu simbah-simbah mereka sering
jagongan disini kalau malam. Rokokan pakai
klembak menyan sambil ngeteh nasgitel. Kadang kita bicara tentang sawah, kadang kita bicara tentang hasil pancingan, atau kalau baru serius, mereka bicara tentang
sejatining urip, tentang hidup. Wah, itu bapak paling menikmati. Walaupun mereka cuma
buruh tani, tapi pemahamannya tentang
urip dan Gusti itu dalam.
Lha dasarnya mereka bergelut dengan
urip itu sendiri, memelihara kehidupan kalau kata anak-anak jaman sekarang. Ndak banyak aturan, yang penting itu bisa merasakan
Sing Kuwasa.
Eh, simbah-simbah itu sudah banyak yang
seda, anak-anaknya mulai banyak yang
ndak peduli. Sawah-sawah yang dulu menghidupi mereka mulai ditukar dengan mobil yang
cemlorong dan
cemolong itu. Sudah banyak yang lupa dengan tempat
dolan mereka dulu. Beberapa orang masih sering
jagongan kesini dengan bapak, tapi cuma segelintir saja. Lumayan, masih ada bapaknya pak Joko, ada mbak Sumeh yang seda minggu kemarin. Kadang-kadang pakde Jabar atau pak Basiyo juga mampir. Mereka itu yang masih
nguri-uri sawah pada masanya, yang masih sempat
ngaso dan
jagongan disini.
Eh, begitu anak-anak mereka sudah
gedhe, mereka dilarang main ke sini. Kata anak-anak mereka, bapak membawa pengaruh yang tidak baik.
Lha, sudah dari jaman simbah mereka ada disini, baru sekarang bapak dituduh menghasut mereka. Paham sesat katanya. Padahal kan simbah mereka itu belajar tentang
urip dari
nguri-uri sawah, bukan bapak yang jadi guru. Guru mereka itu ya sawah, ya
kali, ya
urip itu sendiri. Anak cucu mereka ndak berurusan dengan sawah, malah menjual sawah itu. Mereka lebih terobsesi dengan pesta di rumah pak Amat atau pak Kris.
Padahal ya,
le, pak Amat dan pak Kris itu juga pernah
sowan ke rumah bapak. Tujuan mereka mengadakan pesta-pesta dan
jagongan itu bagus, tapi banyak yang datang kesana tanpa tahu tujuannya. Mereka suka hura-huranya saja. Lah, dari hura-hura, sekarang tiba-tiba bapak mau diusir hanya karena bapak
ndak ikut hura-hura.
Bagong,
thole anakku, bapak minta maaf sekali lagi. Bapak mungkin pengecut menurutmu, tapi lebih baik bapak mati di rumah sendiri, daripada harus diusir. Selagi ini masih rumah bapak. Desa kita sudah bukan lagi desa yang bapak kenal, dan bapak juga sudah terlalu tua. Bapak capek,
le. Mungkin kamu bisa menghidupkan lagi desa kita dulu besok. Bapak sudah berusaha, tapi tenaga sudah habis. Dari ketiga anak-anakku, kamu yang paling mirip bapak. Kamu tercipta dari bayangan bapak, jadi kamu itu duplikat bapak. Sebagai anak muda, inilah masamu, gong!
Semar