Halo le,
Ini aku,
kamu sendiri lima belas tahun yang akan datang. Aku membayangkan (dan
mengingat) kamu pasti masih memakai baju seragam putih biru itu. Rasanya masih
segar dalam ingatan, kemeja putih yang sudah berubah warna kekuning-kuningan
dan celana pendek biru yang jahitan di bagian kanannya sudah sedikit robek.
Iya, aku masih ingat celana seragam yang terlalu pendek itu, yang membuatmu
banyak dihina orang-orang karena dianggap memamerkan keseksian paha. Padahal
apanya sih yang seksi? Paha kecil kurus kering milik seorang anak kelas dua
SMP? Seksi dari mana?
Dalam
bayanganku, kau saat ini pasti sedang berjalan di jalan Juwadi, bagian belakang
SMP 5 yang berdebu itu. Rambut ikalmu berantakan, kepala menunduk, dan kedua
tangan menggenggam erat tas ranselmu. Masih kuingat, terlalu segar dalam
ingatan dan takkan bisa terlupa. Kalau tidak salah ingat, saat itu kau
menyenandungkan perlahan sebuah lagu yang kau tulis sendiri liriknya, lagu
dengan irama yang tidak jelas juntrungannya. Tapi apa peduli kita pada kualitas
melodinya? Kita hanya butuh berteriak, mengeluarkan apa yang ada di hati. “I’m in trouble, I have a problem, please my
Lord help me, give me a way!” Kira-kira begitu kan bunyi refren lagu itu?
Kau saat itu
sedang bertanya-tanya, beranikah dirimu melompat ke tengah jalan di saat sebuah
bus kota melintas. Beranikah kau mengakhiri hidupmu sendiri? Dan masih banyak
sekali alternatif bunuh diri lain yang berkelebat dalam otakmu. Aku tahu, pasti
banyak orang yang membaca ini akan berpikir bahwa kau tak lebih dari seorang
pengecut yang tak berani menghadapi kerasnya hidup. Dan aku ingat, kau juga
pernah berpikir seperti itu, bahwa kau tak lebih dari seorang pengecut tanpa
keberanian.
Seandainya
aku bisa berada di sana, bisa berada di saat itu, aku pasti akan menepuk-nepuk
pundakmu. Hanya itu yang kau inginkan, hanya itu yang kau butuhkan. Seseorang
yang tahu bagaimana rasanya menjadi seorang yang tidak diharapkan, yang selalu
kenyang dengan hinaan sehari-hari. Kau butuh menangis keras, sesuatu yang tidak
pernah berani kau lakukan di saat itu. Dengan hinaan “banci” yang disematkan
karena kau tidak bermain bola, tidak mendengarkan musik-musik mainstream di
saat itu, menangis menurutmu hanya akan membuatmu menjadi lebih tidak lelaki.
Tapi kau butuh melakukannya, kau butuh menangis dan mendengar kata-kata,
“Semuanya akan baik-baik saja di masa depan!”
Aku ingin
sekali bisa memberikanmu kata-kata itu, menjanjikan bahwa semua akan baik-baik
saja, menunjukkan bahwa akhirnya kau akan bisa keluar dari stigma ‘berbeda’ dan
hidup seperti orang-orang yang lain. Tapi kenyataan yang ada tidak seperti itu,
doel.
Sampai
kapanpun, kamu akan selalu berbeda. Kamu itu unik, doel, berbeda dengan teman-temanmu yang lain. Bahkan sekarang, lima
belas tahun setelah tahun-tahun mengerikan itu, kamu masih berbeda dengan
mereka semua. Tapi semua yang kamu alami itu akan membuatmu lebih kuat,
membuatmu mampu bertahan dalam banyak hal. Jangan menyerah, karena aku tahu
kamu akan bertahan (kalau tidak, bagaimana mungkin surat ini datang padamu?).
Bully tidak
pernah hilang, le. Mereka akan selalu
ada, selalu menghadangmu di depan. Mereka hanya berubah bentuk, mereka hanya
berubah rupa dan suara. Tapi kamu sudah pernah mengalaminya, sudah ditempa
dengan kuat untuk melaluinya. Akan tiba waktunya ketika kamu menyadari bahwa
seharusnya kamulah yang harus mengasihani mereka; atas kelemahan mereka.
Kalau
meminjam kata-kata Yesus di Alkitab (jangan khawatir, doel, kamu tidak akan tumbuh menjadi manusia super religius kok!),
semakin bagus anggur yang dihasilkan, semakin keras pula tekanan yang
diberikan. Tekanan-tekanan yang diberikan padamu justru membuatmu bekerja
semakin keras, karena ingin membuktikan dirimu sendiri.
Aku ingat
bahwa kamu pernah (atau mungkin sedang) mencoba menjadi bagian dari mereka.
Kamu bangun di pagi-pagi buta demi menonton pertandingan demi pertandingan
Fiorentia, kamu memelototi semua berita olahraga dan sepak bola di koran setiap
pagi, bahkan berusaha menghafal semua nama-nama pemain bola yang asing itu dari
majalah Liga Italia dan Liga Inggris. Semua hanya demi bisa bercakap-cakap
dengan teman-teman sekelasmu kan? Padahal kamu tidak pernah benar-benar
menikmatinya. Hanya membuat batinmu tersiksa. Atau ketika kamu membeli sebuah
bola bersama-sama dengan empat empat teman yang lain, memaksa diri bermain bola
(walaupun sebenarnya kamu hanya ingin duduk di kelas dan lanjut membaca
Animorphs), bahkan ikut tim kelas dan berdiri di lapangan menjadi bek (yang
bahkan kamu sendiri tidak tahu harus melakukan apa).
Jangan khawatir
atas kegagalanmu masuk dan ‘berubah’. Justru kalau kamu berubah, selalu
berubah, semua tidak akan pernah selesai. Tuntutan sosial dan masyarakat selalu
berganti, dan kamu hanya akan kehilangan dirimu sendiri. Jangan khawatir, pada
waktunya kamu justru akan melihat betapa mereka sesungguhnya adalah korban
konstruksi sosial, korban-korban yang terperangkap dan tidak bisa keluar dari
tuntutan-tuntutan yang tidak masuk akal. Di saat itulah, rasa kasihan akan
membuncah dan sedikit banyak kau akan lega atas semua pencerahanmu.
Yang kuat, le! Pada saatnya, kamu akan membantu
orang-orang sepertimu, seperti kita. Tanpa pengalaman ini, kamu tidak akan bisa
memahami mereka. Dan kita tahu, yang
mereka butuhkan hanya dipahami, hanya tempat yang aman. Kita membantu
dan pada saat yang sama kita juga dibantu.
SMP cuma
tiga tahun kok. Setelah itu, masa SMA tidak akan seburuk yang kamu bayangkan.
Kamu akan bertemu banyak teman-teman yang membantumu melihat dunia. Masa SMA-mu
akan cukup berbeda, tidak seperti yang kau baca dan tonton. Lepas dari tiga
tahun di SMA, kamu akan menemukan banyak teman dan sahabat –orang-orang yang
tidak akan mempermasalahkan keunikan-keunikan dirimu.
Doel,
kamu akan bisa melihat dunia lebih banyak daripada teman-temanmu itu. Kamu akan
pergi jauh, memperoleh perspektif baru, dan berkelana. Surat ini pun tidak
kutulis dari Indonesia, doel! Bukan
kaya harta, tahta, atau wanita, kamu akan menemukan kebebasan yang lebih
berharga dari semua itu. Dunia tidak hanya selebar SMP 5 atau Kotabaru, dunia
tidak hanya seluas kota Yogya, atau bahkan Indonesia. Bermimpilah, karena
mimpi-mimpimu itu yang akan menjadi sayapmu, mengepak jauh pergi. Saat kau
melayang, akan kau sadari betapa orang-orang itu tidak lebih besar dari semut
hitam…….
No comments:
Post a Comment