Pagi
ini, playlist musik yang biasa menemani perjalananku ke kampus mengkhianatiku.
Alih-alih mencerahkan awal hari, ia berturut-turut memainkan lagu-lagu yang
sempat menjadi musik pengiring patah hati di masa lalu.
Lagu
pertama, ‘Heart Vacancy’ dari The Wanted mengingatkanku pada masa-masa patah
hatiku yang pertama, pada sebuah musim dingin jauh di Inggris sana. Dalam
kesendirian musim dingin, ketika hampir semua teman asrama pulang ke rumah
mereka masing-masing, lagu ini seolah menjadi sebuah lorong dan jalan keluar
bagi semua emosi negatif. Seorang sahabat dari Indonesia, seorang penyiar radio
pada masa itu, mengirimkan lagu ini setelah mendengar cerita pengalaman
gagalnya hubungan pertamaku. Tak disangka tak dinyana, aku menjadi sangat
terikat pada melodi dan lirik yang ada di dalamnya.
Kupikir
cukup satu lagu ini saja yang akan muncul di playlist. Entah kenapa, telepon
genggamku seolah ingin melemparku kembali ke dalam gelapnya masa lalu dan
memutar ‘Payphone’ dari Maroon 5. Sial, pikirku. Lagu ini kembali membawaku ke
dalam kemarahan besar pada kegagalan keduaku. Marah, murka, dan kecewa. Mungkin
itu tiga kata yang cocok menggambarkan apa yang kualami pada saat itu.
Kurang
ajar, pikirku! Kenapa aku diberondong luapan-luapan emosi yang ingin kulupakan
di pagi hari? Lagu selanjutnya yang dimainkan memang sudah tidak lagi
berhubungan dengan masa lalu, tapi benak dan pikirku sudah terlanjur
terperangkap dalam lubang hitam kenangan. Sebuah pikiran lalu melayang dan
muncul, lagu apa lagi yang mungkin muncul? Bodoh bukan? Bukannya mencoba untuk
melangkah ke hari yang lebih cerah, aku justru memperangkap diri sendiri dengan
berkubang di dalam lumpur memori.
Bus-ku
saat itu sedang melintas di dekat Galaxy Macau. Di sana terlihat sebuah pagar
sekolah, Guang Da Middle School. Otakku yang terlalu banyak berpikir langsung
terpusat pada salah satu karakter cina yang ada di sana, 光 (Guang). Sebuah
karakter biasa yang berarti cahaya. Tapi otak ini langsung teringat dengan nama
seorang penyanyi, Guang Liang. Di waktu itulah, sebuah judul lagu dari Guang
Liang muncul dalam benak, ‘Yue Ding’.
Beginilah nasib orang dengan benak yang tak
pernah berhenti berpikir. Sedikit saja pemicu terlihat, sang benak akan terus
berlari tak tentu arah mencari dan menyambar, menyulut api bagi
rangkaian-rangkaian peristiwa dan pikiran. Lagu itu tidak pernah punya makna
bagiku saat ia baru saja muncul. Baru di tahun 2009, lagu itu menempel dalam
benak.
‘Kampret’, sebut saja begitu, adalah
seseorang yang sempat menempati kursi khusus dalam hatiku di tahun itu. Kami
pernah berangan-angan bersama akan masa depan yang mungkin terjadi, yang
mungkin dapat kami jalani berdua. Tetapi, sebuah halangan yang menghadang di
depan kami saat itu adalah mimpi kami berdua untuk dapat melanjutkan studi ke
luar negeri, Salah satu kekhawatiran yang ia ungkapkan adalah bahwa jarak dan
waktu akan memisahkan kami pada saat studi lanjut. Inilah bagian dimana lagu
‘Yue Ding’ menjadi sangat berkesan.
Lagu itu bercerita mengenai sepasang kekasih
yang berpisah dan berjanji untuk bertemu lagi tiga tahun kemudian. Setidaknya,
salah satu dari pasangan itu masih setia menunggu, masih mengingat janjinya,
dan bergeming di tempat yang sama. Studi lanjut kami diprediksikan selama dua
tahun, setidaknya. Apakah kami sanggup menjalani perpisahan selama dua tahun?
Aku selalu meyakinkan diriku dan dirinya dengan lagu itu, bahwa ada orang yang sanggup
menjalani semuanya.
Takdir ternyata berkata lain. Dalam hitungan
bulan, banyak sekali yang terjadi. Puncak semuanya terjadi ketika si ‘kampret’
menghilang, pindah dari Yogya tanpa kata pamit. Beberapa kali upaya untuk
menyambung komunikasi kembali selalu gagal. Aku akhirnya mendapatkan jalan
untuk melanjutkan studi ke Inggris, sementara ia (setahun setelahku)
mendapatkan kesempatan melanjutkan studinya ke Belanda.
Tak dinyana, jalan kami bertemu lagi di
tahun 2013. Secara tidak sengaja, kami berdua bertemu di sebuah warung tegal di
Jakarta. Siapa yang pernah menyangka dan berpikir bahwa pertemuan itu akan
terjadi di sebuah kota lain, di sebuah warung kecil yang tidak terkenal. Entah
mengapa, lirik dari lagu ‘Yue Ding’ itu benar-benar terjadi. Setelah tiga
tahun, kami kembali bertemu dan menyelesaikan semuanya.
Penyelesaian? Di masa lalu, perpisahan kami
tidak ditandai dengan kata-kata apapun, tidak ada kata pamit atau selesai.
Semua hanya berputar dalam benak saja. Tahu sama tahu, Tetapi tiga tahun
berselang, semua akhirnya benar-benar jelas. Semua kemarahan, semua perasaan sayang,
dan semua mimpi yang pernah kami pendam berdua akhirnya benar-benar disegel
dengan sebuah kata ‘TAMAT’.
Lamunanku berakhir ketika speaker di dalam
bus berteriak, menandakan pemberhentianku sudah dekat. Lamunan dan permenungan yang cukup panjang dari sebuah
otak yang cukup ‘random’.
Ah, lagu ajaib itu… Lagu yang benar-benar
terjadi dalam hidup…
No comments:
Post a Comment