Wednesday, December 07, 2011

Interogator: Tujuh Tahun Kemudian

Dear Sophia,

Tujuh tahun telah berlalu semenjak kematian Pandu. Selama masa itu, belum pernah sekalipun kau datang kembali dan menyapaku dengan senyum sinismu. Terus terang, aku harus mengakui kerinduanku padamu. Walaupun semua kata-katamu tajam menusuk dan menghujam tepat membelah hatiku, tapi memang tamparanmu itu yang selalu menuntun langkahku.
Kematian Pandu bukanlah sebuah akhir dari kesulitan-kesulitan hidup kami. Lembaran-lembaran baru terus menerus menanti untuk dibuka, mengungkap pelbagai cerita lain. Perlahan, memori akan Pandu mulai menghilang dan membaur masuk ke latar belakang, diganti oleh memori-memori dan derita baru. Pikiran naïf kami di kala itu untuk tidak berpisah ternyata tidaklah cukup kuat menyatukan perbedaan-perbedaan yang ada.

Beth dan aku sudah tidak lagi bersama. Orang mungkin akan berpikir bahwa setelah insiden dengan Thomas, hubungan kami berdua akan sekuat karang. Betapa naïf dan lugunya asumsi-asumsi itu. Ada banyak perbedaan visi dan misi hidup di antara kami berdua yang telah menciptakan jurang pemisah. Beth tumbuh menjadi seorang wanita yang sangat kuat dan mandiri, sementara aku masih tidak bisa lepas dari idealisme kekanak-kanakan yang tidak berubah selama tujuh tahun ini. Untungnya, akhir dari hubungan asmara ini tidak mengakhiri persahabatan kami. Hanya saja, komunikasi kami berdua sudah tidak lagi selancar yang dulu. Kesibukan dan jam kerja lah yang semakin menjauhkan kami.

Mawan dan Bayu pun juga sudah tidak lagi terlibat hubungan asmara. Mereka berdua pergi menyebar ke ujung-ujung pulau. Yang satu pergi ke ujung barat dan yang lainnya pergi ke ujung timur. Kembali jam kerja dan kesibukan memecah komunikasi dan persahabatan kekanakan kami. Sesekali Bayu masih menyapa melalui jejaring social, walaupun sudah tidak lagi seintens dahulu kala. Sementara Mawan seolah hilang tak tahu rimbanya. Mengapa aku merasa bahwa menghilangnya Mawan ini terasa jauh lebih buruk ketimbang kematian Pandu di kala itu? Setidaknya Pandu masih hidup di dalam memori kami semua, tidak menguap begitu saja.

Dari mereka semerua, hanya Adi dan Joshua yang masih setia menyapa dan membina hubungan baik. Jo masih sering menyapa dan datang ke rumah setiap kali ia pulang kampung dari ibukota. Mungkin hubungan antara kami berdua sudah menjadi layaknya sepasang saudara kandung. Walaupun begitu, keintiman dan kedekatan hubungan kami berdua sudah berubah. Inikah efek samping dari tumbuh dewasa?

Adi, yang masih tinggal di kota yang sama, justru menjadi lebih dekat semenjak kematian Pandu. Kehilangan seorang sahabat yang cukup dekat telah menggoncang dan memperangkapnya dalam belenggu kesepian. Kehidupan asmara serta karirnya telah menciptakan sebuah ikatan kegalauan, menahan jiwanya dari birunya langit. Ah, kenapa bahasaku menjadi seperti ini?
Aku sendiri kembali merasakan kehampaan yang sangat besar di dalam diri. Kejadian dengan Jimmy dan Beth pada waktu itu telah menorehkan luka yang teramat dalam. Mungkin waktu dapat menyembuhkannya, tetapi bekasnya akan selalu ada di hati. Atau mungkin luka itulah yang menjadi penyebab renggangnya hubungan antara aku dan Beth? Aku tidak mengerti semua ini, Sophia. Ada banyak pertanyaan yang tidak bisa kujawab sendirian.

Kadang aku merasa iri dengan Pandu karenanya. Ia tetap hidup dalam memori kami sebagai seorang remaja yang ceria. Memang ia harus berjuang dengan penyakit yang menggerogotinya, tetapi sekarang kedamaian telah menantinya. Tidak perlu lagi ia merasakan perpecahan ini, tidak ada lagi kegelisahan yang perlu dijalaninya. Di saat kami berenam harus merasakan kepahitan ini, Pandu tidak pernah berubah. Ia abadi dalam keindahan memori kami.

Kembalilah pada kami, Sophia.......

Kota yang sunyi,

Ali Raya Buana

NB : Setelah menonton Arisan! 2, aku terinspirasi untuk menulis sesuatu tentang kelanjutan "Interogator". Ya, setelah tujuh tahun, pemikiran dan cara pandangku terhadap dunia ini juga berubah. Lalu timbul pertanyaan, seperti apakah perubahan cara pandang para karakter dalam "Interogator"?

Monday, December 05, 2011

Arisan! 2: The Review

Note : Due to reviewing an Indonesian film, I will use Indonesian in this post.

Setelah delapan tahun berselang, Nia Dinata dan Kalyanashira memutuskan untuk mengeluarkan sekuel dari film Arisan!. Arisan sendiri merupakan salah satu tanda bangkitnya dunia perfilman Indonesia pada awal dekade 2000an. Bahkan pada revitalisasi FFI di waktu itu, film ini dinominasikan untuk banyak kategori. Film pertamanya dengan sukses mengantar Tora Sudiro menjadi aktor terbaik pada saat itu.

Dengan pencapaian yang luar biasa, tentu saja kemunculan sekuel ini akan mengundang kecemasan tersendiri pada seorang pecinta film sepertiku. Maklum saja, sebelumnya Kalyanashira pernah mencoba membuat kelanjutan Arisan dengan sinetron yang berakhir dengan sangat ruwet. Cukuplah film pertama mencatat sejarah dalam dunia perfilman Indonesia tanpa perlu dirusak oleh jalan cerita yang "maksa" di film kedua. Ternyata Nia Dinata membuktikan kesalahan opiniku itu.

Film ini bersetting delapan tahun setelah film pertama. Semua karakter di film ini telah beranjak masuk ke dasawarsa keempat kehidupan mereka. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam sinetron Arisan dahulu ternyata dimasukkan ke dalam kanon cerita. Jangan khawatir bagi yang belum pernah menonton sinetronnya, karena film kedua ini tetap dapat dinikmati. Bagi yang sudah pernah menonton sinetronnya, mereka akan mendapatkan bonus kameo dari beberapa pemain. (Iwet Ramadhan, saudara-saudara?).

Secara sinematografis, Nia Dinata menunjukkan perkembangan dan kematangan yang lebih. Angle-angle shot kameranya terlihat indah dan cerdas. Jujur saja, dalam dunia perfilman Indonesia, yang paling kubenci adalah eksploitasi head shot yang terlalu banyak. Terlebih lagi dalam sinetron, head shot antar karakter sebenarnya menunjukkan parahnya tingkat profesionalitas para artis yang seringkali tidak bisa datang pada saat yang bersamaan. Akan tetapi, eksplorasi teh Nia terhadap teknik head shot di film ini bisa dikatakan cukup segar. Dengan zoom yang lebih besar, head shot dikembangkan menjadi eye shot, sehingga kemampuan para artis dalam berkomunikasi melalui mata sangatlah diuji. Ekspresi nakal Andien, kekikukan Tora Sudiro, serta kesedihan dan kerinduan Meymey terungkap dengan lebih gamblang dari sorot mata mereka. Terlebih lagi, eye shot itu tidak hanya terfokus pada si pembicara, sehingga penonton bisa menangkap reaksi karakter lain terhadap pembicaraan. Sungguh, cara yang sangat segar dalam meningkatkan partisipasi penonton.

Pemilihan setting film ini juga sangat indah. Adegan Meymey yang berjalan-jalan di Gili Trawangan terasa menyegarkan mata. Ada sedikit nostalgia terhadap gaya editing video klip di akhir tahun 90an yang bermain dengan warna-warna cerah. Dengan warna dan motif kostum yang pas dengan latar belakang, Nia seolah-olah melukis dengan kameranya. Berpadu dengan warna hijau dan biru langit di Gili, kostum Meymey selalu warna-warna lembut dengan semburat biru dan hijau. Ia seolah melebur menjadi satu dengan latar belakang. Adegan Waisak di Borobudur juga menjadi kanvas Nia dengan perpaduan warna tanah yang melambangkan kehangatan. Kombinasi warna-warna sepia hangat yang dikenakan oleh Meymey dan dokter Tom berpadu lembut dengan langit senja dan nyala syahdu lilin waisak. Adegan-adegan ini menyerupai sebuah photo shot yang hidup. Salut!

Pemilihan kostum di film ini memang pantas diacungi jempol. Masih meneruskan tradisi di film pertamanya yang menggambarkan pertumbuhan karakternya melalui perubahan kostum, penonton seperti menonton Sex and the City versi Indonesia. Perpaduan ambience warna yang dihasilkan menjadi sangat menakjubkan. Kesan warna dingin ruangan peragaan busana yang didominasi oleh cat tembok putih pucat dan baju-baju hitam yang dikenakan hadirin membawa sebuah cerita tersendiri tentang adegan tersebut. Ada sebuah kesombongan dan elitisme yang tergambar di situ. Sementara kombinasi merah hitam dalam kostum yang dikenakan ibu-ibu sosialita dan konsep dekorasi dalam pesta amal dokter Joy membawa sebuah kemeriahan. Kesan yang didapat hanya dari warna, sekalipun tidak digambarkan adanya banyak orang di dalam ruangan tersebut (jika dicermati lebih lanjut lagi).

Adegan favorit saya adalah perayaan Waisak di Borobudur. Dalam adegan ini, Nia seolah berusaha mentranslasikan sebagian ajaran Buddha melalui caranya sendiri. Akan tetapi, yang membuatku mengacungkan empat ibu jari adalah tata suaranya yang cukup mengejutkan, lantunan mantra "Om Mani Padme Hum" yang sangat lembut membawa suasana mistis romantis. Entah darimana Nia mendapatkan rekaman mantra versi itu, saya jadi ingin memilikinya. LOL.

Setelah sekian banyak pendapat positif, kasting pemain tidak dapat memuaskanku sepenuhnya. Perubahan yang paling mengecewakan ada pada Tora Sudiro. Tidak bisa disangkal, ia bermain sangat bagus pada film pertama yang mengantarkannya kepada penghargaan pemain utama pria terbaik. Akan tetapi, setelah delapan tahun dan banyak sekali film komedi, Tora bermain sangat slapstick dan berlebihan di sekuel ini. Terlihat jelas pengaruh film-film komedi yang pernah dilakoninya, sehingga tokoh Sakti di sini berubah menjadi parodi Sakti yang dulu, sangat stereotipikal. Mulai dari gerakan yang terlalu ngondek hingga tatanan rambut yang sangat "eeeeeuw". Sayang sekali Tora, sepertinya gelar pemain pria terbaik tahun 2012 tidak akan jatuh ke tanganmu.

Rio Dewanto, di sisi lain, cukup mencuri perhatian dengan gaya "brondong-ngondek-rempong-sok-eksis"-nya. Boleh dikata, ia sukses meyakinkanku bahwa dia seorang gay di kehidupan nyata. Sayang sekali, perannya disini tidak banyak dieksplorasi, terutama tentang hubungannya dengan karakter-karakter lainnya. Okto, peranan yang dilakoni Rio, menjadi seorang karakter dua dimensi yang tidak memiliki kedalaman. Ironisnya, ia seolah hanya menjadi badut dalam cerita. Akan tetapi, yang patut diacungi jempol adalah keberanian Nia untuk menggambarkan hubungan Okta (Rio Dewanto) - Nino (Surya Saputra) sebagai hubungan biasa layaknya lelaki dan perempuan. Tidak ada kecanggungan untuk menggambarkan gestur-gestur mesra mereka berdua. Bahkan bagi karakter lain di film tersebut, tidak ada yang aneh dalam hubungan Nino - Okta. Salut!!

Karakter pembantu yang sangat berkesan justru Molly, si bartender Reggae Bar. Aksen balinya terasa tidak berlebihan, jauh dari kesan stereotipikal. Tanpa banyak bicara dan penjelasan, penonton bisa menangkap kedalaman dan perasaan karakter ini. Twist yang ada di akhir cerita sendiri cukup menarik disimak. Permainan yang sangat bagus. Seandainya saja Molly lebih banyak disorot.

Pong Harjatmo yang bermain sebagai Gerry tidak terlalu menarik. Maaf om Pong, tapi anda terasa terlalu straight disini. Citra sebagai om-om nakal pun tidak terbangun dengan sukses dengan datarnya ekspresi dan air muka beliau. Sampai akhir film, aku masih berpendapat bahwa Pong Harjatmo adalah kesalahan kasting dalam film ini. Ayolah Nia, anda bisa memilih artis lain yang lebih piawai melakonkannya. Bukan berarti om Pong tidak piawai, hanya saja ia tidak pantas untuk peran ini.

Andien pada film pertama adalah satu-satunya karakter yang tidak kurasakan pengembangan karakternya. Sayang sekali, kesalahan yang sama terulang kembali di film kedua ini. Tidak ada perkembangan signifikan darinya. Justru karakter yang terasa dapat mewakili ibu-ibu sosialita adalah dokter Joy (Sarah Sechan) dan Ara (Atiqah Hasiholan).

Lita (Rachel Maryam) yang tampil cukup menarik di film pertama kini juga seolah kehilangan arah pengembangan karakternya. Cara bicaranya yang ceplas ceplos dan energinya di film pertama seolah hilang di sini. Dia berubah menjadi seorang karakter pelengkap saja. Konflik internal dalam dirinya mengenai karir advokasi dan anggota parlementerya yang sebenarnya potensial untuk digarap dibiarkan lenyap ke latar belakang. Sayang sekali, teh Nia. Padahal di awal film, ia memberi sentilan politik yang cukup cerdas.

Untungnya Meymey (Cut Mini) yang dikembangkan lebih lanjut di film ini berperan sebagai lem dari karakter lainnya. Seolah menebus kesalahannya di film pertama (dimana storyline-nya dicuri oleh storyline Sakti - Nino), kali ini Meymey mendapatkan perhatian penonton. Aktingnya terasa cukup natural. Ekspresi-ekspresinya dikuatkan oleh angle-angle tidak biasa yang digunakan Nia Dinata. Yang cukup disayangkan, ia berperan sebagai cue card di akhir film. Nia menggunakan Meymey sebagai "speaker"-nya akan pesan dari keseluruhan jalan cerita. Sekalipun terasa sedikit "preachy", tetapi bisa dimaafkan mengingat durasi waktu.

Secara keseluruhan, Arisan! 2 menjadi sebuah film yang cukup segar untuk dinikmati bagi orang-orang berpikiran dewasa dan terbuka. Twist-twist yang ada cukup segar dan mengejutkan, tetapi bukan berarti tidak ada dalam lingkungan kita.

Score : 8 / 10