Wednesday, September 16, 2015

Kembali Terbang

Sebulan sudah saya berada di bagian utara benua Eropa yang konon katanya dingin menusuk tulang. Banyak sekali pengalaman-pengalaman menarik yang mendatangi, termasuk kerinduanku akan Eropa yang akhirnya terpuaskan (untuk sementara). Ada banyak keajaiban yang terjadi, ada banyak mukjizat yang datang tanpa ternubuatkan. Dari semua itu, ada suatu peristiwa besar yang cukup mengubah arah hidupku.

Dua hari terakhirku di Indonesia tahun ini membawaku ke sebuah kencan buta. Semua diawali dari kunjungan rutin ke dokter gigi. Kebetulan, si dokter gigi langgananku ini adalah seorang dokter yang sangat usil dan hobi menjadi mak comblang antara orang-orang yang dikenalnya. Hebatnya lagi, hasil percomblangannya sebagian besar berhasil. Salah satu hasil keusilan tangan dan mulutnya adalah percomblangan seorang sahabatku sendiri yang akan berjalan ke pelaminan di bulan Januari mendatang. Nah, si dokter gigi ini dulu pernah mencoba mencomblangkanku dengan seorang temannya. Sayang seribu sayang, ada sebuah kelemahan dalam rencananya saat itu – si temannya itu ternyata masih dalam status berpacaran dengan orang lain. Saking penasarannya, dia mencoba lagi mencomblangkanku untuk kedua kalinya.

Semua konspirasi dan rencananya berjalan mulus. Aku bertemu dengan seorang dokter gigi manis untuk makan siang bersama. Jujur saja, si ibu dokter gigi ini memang memiliki paras yang cukup rupawan dan sederhana. Ia berasal dari keluarga baik-baik dan sudah memiliki karir yang cukup stabil. Kurang apa lagi, coba?

Seandainya saja si ibu dokter ini bisa mengerti dan memahami idealisme saya dalam menuntut ilmu. Mungkin itu yang cukup mengganjal. Dari percakapan yang ada (dan juga dari post-date report oleh dokter gigi langganan saya), ternyata si ibu dokter juga memiliki ketertarikan kepadaku. WHOAAA! Jarang-jarang kan ada orang yang tertarik pada manusia aneh seperti ini? Hanya saja, dia sudah memiliki visi untuk membangun karir dan keluarga di Indonesia. Berkali-kali ia melontarkan gagasan agar saya berhenti setelah menyelesaikan S3 dan kembali bekerja di kota kelahiran saya.

Mungkin pengaruh usia saya yang sudah mulai menua dan banyaknya teman-teman yang sudah mulai berkeluarga, godaan itu mulai merasuki pikiran. Apakah memang ini jalannya? Apakah memang saya harus kembali pulang dan membuang semua asa dan harapan yang sudah terajut selama bertahun-tahun, semua mimpi yang menjiwai setiap langkah dan resiko yang sudah terambil. Semua itu sempat tercurah dalam sebuah status yang tertulis, mengenai jalanan yang terbelah menjadi dua simpangan. Jalan tempatku masih bersikeras mengejar mimpi – jalanan yang tidak rata dan berbatu – serta jalan di mana aku bisa mendapatkan kehidupan yang nyaman. Dilema itu menyerangku berkali-kali, hingga dalam keputusasaan, aku berpikir untuk menjalani jalanan yang nyaman itu. Saya nyaman, hidup mapan, semua senang. Selesai. Happy Ending! Toh jalan ini akan membawaku kepada sebuah masa depan yang pernah terbesit dan tertulis dalam sebuah cerita dari tahun-tahun putih abu-abu.

Biarlah Swedia dan Macau menjadi petualangan terakhirku, sebelum akhirnya aku merantai diriku sendiri di Yogyakarta; sepercik pikir menyala lemah di dalam kepala. Mungkin ini akan menjadi pelabuhan terakhirku, tempat aku bisa beristirahat tanpa terbeban semua mimpi-mimpi besar.

Hanya selang beberapa hari setelah mendarat di Swedia, aku bertemu dengan seseorang. Tak ada harapan dan ekspektasi apapun, karena aku sudah lelah sakit hati. Tetapi ada sebuah kalimat darinya yang mampu membuatku luluh, “Aku ini seorang dokter. Di manapun kamu akan berkarya kelak, aku tetap dapat mendampingi dan mengikutimu!”

Kata-kata itu seolah menumbuhkan kembali sayap yang pernah kurobek sendiri. Bukan lagi cinta tai kucing atau romantika mendayu-dayu yang ia tawarkan. Bukan juga kehidupan dan stabilitas yang disodorkan. Ia datang memperbaharui mimpi dan harapanku. Saat kami saling mengikat komitmen dalam sebuah hubungan pacaran, ia menjadi separuh sayap yang mengepak dalam perjalananku. Semua asa dan cita-cita yang sudah siap kutanggalkan, dijahitnya baru dan dikenakannya erat membalut jiwa dan ragaku.

Mungkin, inilah keajaiban yang ditawarkan Swedia.

Wednesday, January 28, 2015

Lela Ledhung

Sore ini, saya ditemani sebuah lagu bahasa Jawa yang cukup akrab di telinga hampir semua anak-anak dari kota kelahiran saya. Lagu ini - Lela Ledhung - biasa dinyanyikan oleh kaum ibu untuk menidurkan anak mereka. Tentu saja, lagu ini membawa pikiran saya berkeliaran jauh ke berbagai tempat dalam memori.

Dan entah kenapa, saya jadi ingin menangis. Menangis menumpahkan semua beban hati, semua lelah letih yang menumpuk jauh di dalam dada. Lagu ini semakin mempertajam kesedihan itu, serasa saya ingin kembali ke dalam pelukan ibu dan menangis lama, hanya menangis dan menceritakan semuanya kepada beliau. Saya hanya ingin masuk dalam pelukan hangat dan mendapatkan ketenangan dalam belaian beliau. Rasanya, semua beban dan masalah akan dapat lenyap hanya dengan usapan lembut beliau di rambut dan kepala saya. Rasanya, semua hantu dan setan yang menghantui dan bergelayut memberati pundak akan sontak hilang berlari tunggang langgang hanya dengan sebuah ucap, "Semuanya akan baik-baik saja, nak!"

Terkesan sederhana bukan? Bukankah saya bisa menelepon ibu saya dan menangis bercerita tentang semuanya itu?

Tidak!

Tidak!

Alih-alih mendapatkan kenyamanan dan rasa aman, beliau pasti justru akan menambah banyak beban dan hantu. Bukannya rasa lega, saya hanya akan merasa tambah terbeban dengan semua kemarahannya. Ada beberapa bagian dari hidup saya yang tidak pernah diterima oleh beliau, ada fragmen-fragmen kehidupan saya yang senantiasa ditolak dan dilihat dengan penuh pandangan jijik, dan ada luka yang masih belum sembuh - luka yang pernah ditorehkan oleh beliau.

Setiap kali saya bercerita, selalu saja ada bagian yang tidak pernah dapat terucap. Ada bagian yang tidak dapat diungkap dan disampaikan. Bagian-bagian itulah yang lalu berkembang menjadi duri dalam daging, tumbuh besar menjadi tombak dan pedang yang menyobek rasa dari dalam. Dipupuk kesedihan, dipendam kesendirian, mereka berkembang besar seolah berusaha untuk mengoyakku dari dalam.

Saya benar-benar rindu momen-momen itu, ketika saya bisa berlindung dalam peluk seorang ayah atau ibu. Tapi, bisakah seseorang merindukan apa yang tidak pernah dialaminya? Bisakah rindu akan sesuatu yang mungkin tidak pernah ada itu terbentuk? Saya tidak tahu.

Mungkin saat ini saya hanya ingin menangis lepas. Peluk dan ketenangan itu hanya dapat terbentuk dalam bayangan dan suara musik "Lela Ledhung". Mungkin saat ini, atau mungkin juga tidak akan pernah dapat kuraih di kehidupan ini.

Saat ini, biarkan saya menangis tanpa suara, tanpa air mata. Tinggalkan saya di pojok ruangan, tempat saya tertunduk terduduk sembari mencakar udara mencari sosok ibunda.

Monday, January 26, 2015

Penyangkalan Diri / Denial

Tiba-tiba saya tergelitik ingin berbicara mengenai penyangkalan diri – atau istilah kerennya self-denial. Entah mengapa, akhir-akhir ini banyak sekali teman dan kenalan saya yang sepertinya sedang bergulat dan bergumul dengan masalah ini. Well, sebelum masuk ke tulisan saya yang aneh, panjang, (se)lebar (perut saya), dan (mungkin tidak) bermutu, saya ingin menyampaikan kesimpulan dulu. (Tuh kan, benar-benar sangat bermutu. Kesimpulan kok di depan? Harusnya kan di belakang!)

Nah, kesimpulan dari penyangkalan diri ini adalah penderitaan diri sendiri (yang sebenarnya tidak usah ditulis juga semua orang sudah tahu). Nah, kebetulan saya sendiri juga pernah punya pengalaman dengan yang namanya self-denial ini dan berakhir dengan tersiksanya diri saya selama empat tahun. Mau nonton tv nggak enak, mau baca buku tidak bisa sepenuhnya konsentrasi, tapi kalau mau makan tetap lahap sih.

Semua berawal dengan kebencian saya terhadap suatu benda bernama kacamata. Iya, bertahun-tahun saya benci dengan kacamata. Bagi diri saya yang masih kecil dan imut-imut waktu itu, memakai kacamata membuat saya terlihat lemah dan cacat. Habisnya, selalu ada himbauan untuk tidak memukul orang yang berkacamata. Sudah begitu, pelajaran IPA sejak SD selalu menyebutnya dengan ‘cacat mata’. Nah, sebagai siswa yang baik, saya kan mengamini semua yang saya pelajari dan memasukkan semuanya ke dalam memori otak, hati, dan jiwa.

Dari upaya menggali-gali memori, saya menemukan sebuah fragmen hidup yang sebenarnya cukup menggelikan dan memalukan. Kejadiannya saat saya masih duduk di bangku kelas 2 SD. Nah, keantian dan kebencian saya terhadap kacamata berpadu dengan fantasi anak-anak yang masih sangat liar (sampai sekarang masih liar sih sebenarnya). Saat itu, dengan mulai bertambah banyak anak-anak yang memakai kacamata di kelas, saya mulai menganggap bahwa ada penyakit dan virus yang menyebar di sekolah. Virus KM (alias Kaca Mata), begitu kami menyebutnya. Eh, kami??? Iyaa!! Saya membentuk sebuah kelompok detektif untuk menyelidiki penyebaran virus KM ini. Saking liarnya fantasi saya (yang saat itu menjadi pimpinan dari grup detektif ini, kami sampai punya sebuah buku khusus yang berisi analisa penyebaran virus KM dari kedekatan tempat duduk, kedekatan rumah, dan juga silsilah keluarga.

Nah, ternyata karma itu menyebalkan. Saat saya mengecap bangku pendidikan di kelas 6 SD, penglihatan mata kiri saya mulai kabur. MAMPUSSS!!! Itu pikiran pertama yang terlintas di benak saya saat itu. Saya jadi orang cacaaat!!! Saya jadi orang lemaaaaah!!!!! Pokoknya waktu itu membayangkan diri saya memakai kacamata itu sudah sebuah mimpi buruk tersendiri. Lebih parah lagi, sahabat dekat saya waktu itu mulai memakai kacamata juga. (Sepertinya kami berdua terlalu banyak bermain video game dan membaca komik sambil tiduran).

Kenapa saya ikutan panik sewaktu mengetahui sahabat dekat saya memakai kacamata? Karena yang ada di pikiran saat itu adalah pertanyaan dari orang tua mengenai dia, lalu kecurigaan mereka akan keadaan mata anaknya. Mampus! Pasti bakal dicek mata!!! Sudah begitu, tiba-tiba di dua kelas sebelah tiba-tiba ada pengecekan mata dari Puskesmas setempat. Tiba-tiba saja di minggu berikutnya, jumlah anak yang memakai kacamata di sekolah bertambah cukup banyak.

Bukan saya namanya kalau hanya diam berpasrah pada nasib. Lalu apa yang saya lakukan? Pertama, mulai mencuri wortel  mentah dari kulkas di rumah saya dan rumah Opa. Kan konon katanya wortel itu bagus untuk mata. Jadilah saya semacam siluman kelinci yang setiap siang isinya menggigiti wortel mentah secara sembunyi-sembunyi. Yang kedua, saya membaca pola jadwal pemeriksaan mata yang ternyata seminggu sekali. Jadilah di tiap hari yang saya curigai akan ada pemeriksaan mata, malamnya saya tidur telanjang di depan kipas angin. Harapannya akan masuk angin, sehinga bisa bolos sekolah persis di hari itu.

Nah, ternyata keberuntungan itu tidak jauh dari saya. Kelas saya dilompati!!! Entah kenapa, tapi benar-benar semua amaaan……

Memasuki jenjang SMP, saya masih dengan pedenya tidak memakai kacamata. Padahal pandangan semakin lama semakin bertambah kabur. Alhasil, setiap kali saya terlambat dan kebagian tempat duduk di belakang kelas, doa saya adalah guru-guru yang mengajar di hari itu tidak menuliskan catatan di papan tulis. Yang lebih parah lagi adalah soal ulangan yang ditulis di papan tulis. Aduh, mata sudah dipicing-picingkan seperti apapun masih tetap tidak terlihat semuanya. Akibatnya, saya sering dengan takut-takut minta tolong teman sebangku untuk menuliskan soal ulangan itu. Nah, karena soal ulangan itu ditulis di secarik kertas kecil, jadilah saya terlihat seperti sedang menyontek. Haduh, pertaruhan nama baik saya sebagai seorang siswa baik-baik.

Di rumah, nasib saya tidak jauh lebih baik. Saat itu, TV ditaruh di atas lemari yang cukup tinggi. Nah, jadilah saya menonton TV dengan jarak yang cukup dekat. Sudah begitu, agar tidak ketahuan orang tua kalau saya selalu memicingkan mata, saya punya posisi sendiri, dimana saya terlihat seperti sedang bertopang dagu. Padahal sebenarnya posisi telapak tangan saya itu menyamarkan picingan mata. Sayang sekali, dengan posisi itu saya jadi tidak bisa menonton TV sambil makan. Sialnya lagi, pada waktu itu bapak baru saja membeli VCD player. Film-film yang seharusnya bisa menghibur saya justru menciptakan sebuah tantangan baru.

Begitu lulus SMP, saya memutuskan untuk jujur saja kepada orang tua saya. Pikiran saya waktu itu toh teman-teman di SMA juga teman-teman baru. Mereka tidak kenal saya sebelum saya berkacamata. Eh, sudah ada keputusan untuk jujur, saya malah bingung bagaimana saya harus mengaku kepada mereka?

Entah malaikat mana yang secara tiba-tiba mengetok kepala orang tua saya, sehingga suatu sore mereka sadar mendadak. Saya sedang makan malam sambil membaca buku di meja makan dengan posisi sama seperti biasanya, ibu tiba-tiba berteriak, “Baca buku kok dekat-dekat! Matamu nggak keliatan? Jangan-jangan kamu minus?”

BADALAAAAAH! Posisi ini dan kebiasaan ini sudah saya lakukan selama empat tahun, biasanya tidak ada komentar. Eeeh, ini kok tumben sadar. Benar-benar ada malaikat yang menggetok nih.

Dan dari sore itulah, saya akhirnya menerima nasib sebagai seorang pemuda harapan bangsa yang berkacamata. Ternyata, masih tetap tampan sih….


Kesimpulannya? Sudah ditulis di ataaas!!!!