Wednesday, March 02, 2011

Retrospek

Bara api di perapian masih menyala dan menari dengan lemah gemulai, menebar kehangatan di dalam ruangan. Sementara itu, hawa dingin yang menyerang di luar tidak bisa masuk merasuk ke kamar ini. Mereka semua menabrak kaca jendela dengan membabi buta, meninggalkan bercak-bercak kelabu yang merata dan mengaburkan pandangan.

Di hadapanku, seorang lelaki muda tengah asyik bermain di atas karpet. Mata birunya yang bulat terfokus memandang mobil-mobilan yang ada di genggaman. Ekspresinya menunjukkan betapa dalamnya ia terlibat dalam dunia yang diciptakannya sendiri. Keluguan terpancar dari kedua matanya. Perlahan-lahan, dia memalingkan wajahnya ke arahku dan tersenyum simpul.

“Apa yang terjadi dengan mobilmu?” tanyaku pelan.

Ia menjawab dengan ringan, “Dia terperangkap, pa! Mobilku mau keluar rumah dan berputar-putar disana.”

“Hei, bilanglah ke mobilmu, di luar salju terlalu tinggi. Sama saja, dia tidak akan bisa berputar-putar. Si mobil akan jauh lebih aman ada di sini bersamamu dan papa,” sahutku sembari tersenyum. Tanganku meraih kepalanya dan mulai mengacak-acak rambutnya dengan lembut.

“Kalau gitu, kita pergi saja ke rumah eyang. Kan disana tidak ada salju. Salju disini menyebalkan, pa!”

Aku terhenyak. Kalimat-kalimat yang keluar dari bibir mungilnya itu menyentakkan sesuatu yang ada di dalamku. Pikiranku mulai berputar mundur, mengingat kembali sengatan matahari pada kulit sawo matangku, curahan hujan deras yang sering membasahi badanku, serta bau khas yang keluar dari lemari dapur di masa kecilku.

Dengan suara sedikit tercekat, aku menjawab, “Karena rumah kita disini, nak!”

“Aku mau pindah ke rumah eyang saja, pa!”

“Lalu? Papa mau ditinggal sendirian disini?”

“Loh, papa juga harus ikut aku! Masa papa nggak kangen dengan eyang?”

Himpitan yang ada di dadaku mulai bertambah kencang. Bulu kudukku mulai berdiri dan otakku kembali menggila. Perlahan-lahan pikiran, kenangan, asumsi, mimpi, dan wajah-wajah lama mulai bermunculan. Satu-persatu, pelan tapi pasti. Muncul begitu saja dengan kejutan-kejutan yang membawa kembali perasaan yang telah lama tidak kurasakan. Seiring dengan menumpuknya semua kenangan itu, dadaku terasa semakin sesak. Ruangan di hadapanku mulai mengabur dan terasa sebagai sebuah ilusi belaka. Tiba-tiba saja, aku tidak lagi tahu perbedaan antara dunia nyata dan dunia maya.

“Hayo, papa kangen sama eyang ya?” sahut putraku. Aku tersentak dan kembali ke realita. Kepalaku terangguk pelan dan aku mulai meraihnya ke dalam pelukanku.

Lenganku menggenggamnya erat. “Kamu tahu? Kamu itu mirip dengan eyang kakung!”

Dia tersenyum penuh arti.

No comments: