Thursday, August 16, 2012

Merindu Sastra

Ini adalah sebuah pemikiran yang hinggap ketika saya berjalan-jalan ke Gramedia untuk menghilangkan suasana hati yang sedang memburuk. Di sana saya melihat beberapa buku yang mendapat pujian dari mantan. Kebetulan ada satu buku tersebut yang sudah terbuka dari plastiknya, buku kumpulan cerpen dari beberapa penulis yang mendapatkan ketenarannya dari dunia maya.

Terdorong oleh rasa ingin tahu, saya mengambil buku tersebut dan membacanya di tempat. Betapa terkejutnya saya ketika membaca bahwa kebanyakan tokoh dalam cerita itu memiliki nama yang sangat kebarat-baratan. Mungkin bukan sesuatu yang salah, tapi dalam benakku praktek seperti itu biasanya akan mengarah ke suatu cerita yang sangat dangkal. Mungkin ini hanyalah sebuah prejudice pribadi, mungkin.

Tapi membaca beberapa cerpen yang ada di sana sekilas, ada sesuatu yang terasa kurang dari tulisan-tulisan itu. Semua cerpen yang ada di dalam buku itu serasa seperti cerpen-cerpen yang pernah dimuat di beberapa majalah remaja. Cerpen yang bisa dibaca dan dipshami maknanya dalam waktu kurang dari 5 menit. Cerpen yang tidak akan meninggalkan jejak dan kesan yang mendalam di dalam ingatan.

Cerita-cerita yang tersaji di dalam kumpulan itu terjebak di dalam batasan satu dimensi, dimana cerita tersebut akan selalu diinterpretasikan dan dipahami secara seragam oleh orang yang berbeda di waktu yang berbeda. Tidak ada multi interpretasi yang biasanya dimiliki leh karya-karya sastra klasik. Pengarang-pengarang cerita itu seolah ingin menegaskan posisi mereka sebagai pemegang otoritas tertinggi, sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Hal ini menyebabkan tertutupnya ruangan dan tempat bagi para pembaca untuk memasukkan diri, ide, pikiran, gagasan, dan interpretasi mereka sendiri ke dalam karya tersebut.

Sebuah gagasan lain segera menyusul menembus pikiranku, apakah ini pengaruh dari kebudayaan dunia maya yang mulai menyebar di kehidupan masa kini? Dunia maya yang menyuguhkan kecepatan mengakses data dalam waktu singkat. Sebuah kemudahan instan dan cepat yang tidak menuntut pemakainya untuk berpikir dan menggunakan logika secara menyeluruh. Hanya cukup mengetikkan sesuatu, informasi yang dicari akan langsung didapat. Tidak perlu susah-susah mengetahui prosesnya, yang penting adalah jawaban akhirnya. Lalu, apakah paradigma itu sudah juga masuk ke dunia tulis-menulis dan sastra kita? Dengan hadirnya karya-karya yang tidak membutuhkan tafsir dan multi interpretasi? Dengan ditutupnya ruangan tempat para pembaca bisa memasukkan pengalaman mereka sendiri ke dalam cerita?

Dan pertanyaan yang paling signifikan, sadarkah para penulis itu bahwa begitu sebuah karya telah dipublikasikan, pengarang akan telah mati?

Terus terang, walaupun saya pernah sangat membenci Atheis-nya Achdiyat Kartamihardja, tapi saya merindukan karya semacam itu. Karya kontroversial tetapi tidak dangkal. Karya semacam Olenka-nya Budi Dharma yang walaupun membuat saya mengernyitkan kening berjam-jam, tetapi membuat saya bisa tercekat dalam proses membacanya. Karya seperti Pengakuan Pariyem yang membawa saya ke dalam orgasme sastra lebih tinggi dari orgasme biologis melalui kata-kata sederhana. Atau bahkan Burung-Burung Manyar yang membuat saya berpikir kembali tentang kebenaran dan kehidupan. Bukan hanya gimmick yang ternyata hanya sebatas footnote berpanjang-panjang yang tidak ada kaitannya dengan perkembangan cerita (I'm looking at you, Supernova!).

Saya rindu membaca karya baru dengan level itu!

1 comment:

BaS said...

nice thought :)