Thursday, April 11, 2013

"Daerah" : Hasil Normativitas "Jakarta"


Setelah tinggal beberapa bulan di Jakarta, saya masih merasa sangat aneh dengan sebuah kata yang sering digunakan penduduknya. Sebuah kata sederhana yang memiliki banyak arti, tetapi sudah direduksi menjadi sebuah istilah derogatif, “daerah”. Memang beberapa waktu yang lalu, saya sempat menulis mengenai kolonialisasi yang dilakukan oleh penduduk Jakarta melalui pembentukan identitas mereka. Tetapi baru setelah merasakan hidup di tengah-tengah belantara ibukota, saya merasakan kuatnya politik identitas ini.

Hampir setiap orang di Jakarta menggunakan kata-kata “daerah” untuk membedakan kualitas mereka dengan kampung halaman mereka. Selalu ada perbedaan antara “Jakarta” dan “daerah”, walaupun tidak selalu “daerah” diidentikkan dengan hal-hal yang negatif. Yang menarik disini, dikotomi “Jakarta” dan “daerah” ini seolah membagi dua kawasan Indonesia ini menjadi Jakarta dan non-Jakarta. Dikotomi ini membawa konsekuensi generalisasi karakterisasi “daerah”. Tanpa melihat perbedaan budaya di setiap daerah, “Jakarta” menyamaratakan karakter “daerah”. Dalam hal ini, mereka lupa bahwa “daerah” pun memiliki kekhasan masing-masing, tergantung region dan letak geografisnya.

Hal ini mau tidak maumengingatkan saya pada kritik Edward Said mengenai kolonialisasi budaya, yangmenghasilkan “White” dan “Oriental”. Pada kerangka berpikir ini, “oriental” tidak memiliki kekuasaan untuk mendefinisikan diri mereka sendiri. Penggambaran“oriental” yang muncul berawal dari stereotype dan stigma yang dipegang oleh “White”. Begitu pula yang terjadi dalam dikotomi kuasa “Jakarta – daerah” ini. “Daerah”vtidak diberikan kesempatan untuk mengolah karakteristik mereka yang berbeda,tidak pula diberikan ruang pengakuan akan adanya banyak variasi “daerah”.

Kelompok “Jakarta” mengambil alih puncak dinamika kuasa yang ada sehingga mereka merasa memiliki otoritas untuk mendefinisikan yang lain –yang pada gilirannya mereduksi keberagaman yang ada.Memang, puncak dinamika kuasa dalam pembentukan dikotomi ini dimulai dari besarnya kemampuan dan kekuatan financial yang dimiliki oleh “Jakarta”. Darikapasitas ekonomi ini, mulailah muncul sebuah pembentukan hegemoni kebudayaan yang secara otomatis menempatkan dirinya sendiri di ujung pyramid dan menjadi pusat dari seluruh kebudayaan negara. Dengan meluasnya kuasa dan pengaruh kebudayaan (yang juga dimediasi oleh media massa dan daring) ke “daerah”, mulailah muncul sebuah normativitas. Normativitas kebudayaan modern yang harusdimiliki oleh semua orang, pemaksaan nilai oleh “Jakarta” kepada “daerah” mulai terbentuk karena didorong oleh hegemoni kuasa ini.

Yang cukup menarik untuk dilihat adalah karakteristik asli “Jakarta” sebagai kumpulan dari migrant (yang berasaldari “daerah”). Penyeberangan para migran ini ke dalam pusat hegemoni telah memberikan motivasi kepada mereka untuk mencari aman dan masuk ke dalamnormativitas yang dibentuk oleh pemegang kuasa. Di sinilah kasus politik identitas mulai terlihat, bagaimana sebuah kuasa dan normativitas memaksa “Others”/”Oriental” untuk meninggalkan identitas mereka dan masuk ke dalam stabilitas dan keamanan,dengan cara menjual identitas mereka yang telah terepresi. Bahkan banyak diantara mereka –yang setelah masuk ke dalam struktur normativitas- mulai melakukan reduksi terhadap kerabat dan bahkan masa lalu mereka sendiri.

Menilik fenomena ini darikacamata kritik Derrida mengenai dikotomi yang menyebutkan anggapan bahwasebuah identitas dibentuk dengan cara “othering others”, saya tergelitik untukmenanyakan alasan tidak adanya dekonstruksi sosial yang berusaha dilakukan.Sebegitu lemahnya kah kekuatan identitas “Jakarta” itu sendiri sehingga mereka mencoba meraih legitimasi dan justifikasi eksistensi mereka melalui generalisasi “daerah”? Baik Derrida, Said, maupun Nodelman mengkritisi pembentukan identitas melalui dikotomi ini sebagai salah satu bentuk insecurity dari konstruksi yang ada. Dengan represi (yang dapat dilihat sebagai kekerasan terselubung ini), bukankah hal ini mengikuti alur pemikiran kuasa dan kekerasan dari Arrendt? Di mana sebenarnya kuasa ini tidak serta merta harus dicapai melalui sebuah represi?

Pertanyaan saya yang paling utama, sebegitu lemahnya kah konsep identitas banyak manusia Indonesia? Mengapa tidak banyak resistensi kebudayaan melawan dikotomi kuasa identitas ini?

Mungkinkah konsep dinamika kuasa dan dikotomi melalui kekerasan terselubung inilah yang membuat manusia Indonesia tidak terbuka dengan penerimaan? Atau malah tidak adanya penerimaan itu yang membentuk dikotomi menyebalkan ini?

God knows…..

No comments: