Monday, June 28, 2010

Dalam Derai Hujan

Sayang,

Senja ini hujan turun dengan lebatnya, dengan buliran-buliran air yang mengetuk-ngetuk kaca jendelaku. Angin yang berhembus dengan kencang menemani jatuhnya limpahan tirta dari langit bersuara sangat keras, memukul-mukul udara, menambah dinginnya suasana sore ini. Dan aku hanya bisa memandanginya dari balik kaca ini, pandangan kabur yang tertutup lelehan air mata angkasa.

Di dalam ruangan remang ini, aku hanya duduk sendiri berteman sepi dan kerlip cahaya lilin. Di sampingku, secangkir teh hangat mengepul menggoda membelai indra penciumanku. Api kecil dari lilin dan kepulan asap dari cangkir itu seolah berusaha untuk membawaku masuk ke dalam kehangatan semu dan perlindungan dari terpaan dingin yang menggigit serta kegelapan yang menyelimuti ruang ini. Listrik sudah mati semenjak dua jam yang lalu, sementara sinar mentari terlalu lemah untuk menembus air terjun cakrawala ini.

Ketika aku mencoba memandang keluar dari jendela ini, benakku melayang ke arah hadiratmu. Bagaimana aku merindukanmu, bagaimana ketidakhadiranmu di tempat ini telah membuat rasa dingin itu semakin mencekam. Tanganku hampa, merindu kehadiranmu, merindu ragamu untuk mengisi kekosongan pelukan ini. Jemariku mencari lekuk wajahmu, lekuk-lekuk yang telah kukenal. Dan aku rindu berbisik pelan di telingamu, kisikan lembut tentang rasa di dalam jiwaku.

Kita bertukar sapa dengan bahasa yang kita ciptakan sendiri. Kata-kata yang hanya bisa kita pahami sendiri, tanpa ada orang lain yang mengetahuinya. Karena bagiku, semua pandangan matamu memiliki artinya sendiri, setiap gerakan tubuhmu adalah kalimat yang terbaca jelas di mataku. Setiap hembus nafasmu menjelma menjadi rangkaian huruf-huruf yang bermakna, dan setiap getar di kulitmu menggambarkan detil kecil dalam jiwamu. Jauh lebih indah bahkan dari seribu Monalisa, jauh lebih dalam daripada ribuan karya ratusan filsuf, dan jauh lebih bermakna daripada seribu kata.

Tapi kau tidak ada disini. Hanya kerlip lilin yang hampir padam, dan angin dingin yang berhembus pelan membelai setiap sumsum tulang ini, menggigit dan menyusup terlalu dalam. Terlalu dalam hingga kekosongan ini menjadi jauh semakin menyakitkan dan hampa.

Dan hujan pun masih terus turun, sementara surya sudah mulai menghilang perlahan ke peraduannya. Malam pun menjelang, dengan angin yang semakin dingin. Ruangan semakin gelap, dan aku masih saja sendiri tanpa dirimu.

2 comments:

De said...

hmm...sweet bgt

valent said...

wooooowwwwww :)