Saturday, April 23, 2011

Surat Terakhir Semar

Bagong menemukan Semar tergolek tak bernyawa di atas peraduan pada suatu pagi. Di sebelahnya, ada sepucuk surat untuk Bagong

Bagong anakku,

Bapak pamit mati, le. Ini keputusan sing wis dak pikir dawa. Lebih baik bapak mati baik-baik di rumah sendiri, di kasur sendiri daripada di tempat lain yang ndak ada orang kenal. Sejelek apapun pendhapa Punakawan ini, tetep aja ini rumah kita. Walaupun sudah mau rubuh, tapi ada banyak kenangan. Rasanya baru kemarin kamu nangis karena ditinggal kangmas-kangmasmu, Gareng dan Petruk. Ah, sekarang thole-tholeku sudah dewasa semua. Cuma kamu, le, satu-satunya yang masih mau ngerumat pendhapa ini. Bapak wis ndak berharap kang Gareng dan kang Petruk pulang. Mereka sudah bahagia di kota dengan keluarganya masing-masing.

Sudah beberapa minggu ini bapak dengar rasan-rasan tetangga. Mereka sudah sepet melihat rumah kita ini. Katanya, jaman modern kok masih tinggal di pendhapa kuno. Merusak pemandangan, menurut mereka. Eh, pas bapak jagongan dengan pak Tarno yang di sebelah, katanya banyak yang sudah pergi ke Dinas Tata Kota untuk minta ijin merenovasi rumah kita. Ealah le, renovasi itu jebul maksudnya mereka mau ngrubuhke pendhapa ini dan mbangun yang baru. Wah, bapak ya cuma bisa ngelus dada dengar cerita itu.

Yah, kalau dilihat-lihat, memang rumah kita itu sudah beda dengan rumah yang lain. Rumah pak Amat yang ada di seberang jalan itu kelihatan bagus. Catnya putih, lantainya keramik, pake hiasan di atasnya. Banyak orang yang sering main ke sana, jagongan tiap malam. Ketoke mereka pesta besar-besaran. Lha tiap kali selalu pake toa. Banter tenan, sampai bapak kadang ndak bisa nggayemi uyon-uyon kalau malam.

Yang di seberang kali, kalau kamu perhatikan, ada rumahnya pak Kris. Seminggu sekali juga selalu ada pesta disana. Kalau kata orang-orang, selalu ada makan besar. Musiknya macem-macem, le. Wah, sayang bapak ndak bisa dengar. Lha jauh je, di seberang kali. Anak-anak muda kalau dolan ke sana selalu macak. Wah, kinclong-kinclong, le. Coba kamu lebih sering ada disini, pasti seneng nonton pacakane. Rumahnya apik tenan, rumah kita kalah jauh wis.

Lha rumah kita? Dari kayu yang sudah hampir kropos. Gelap, ndak pake toa atau musik aneh-aneh. Yang ada cuma suara jangkrik kalau malam. Kadang bapak masih nyetel uyon-uyon kalau pas sepi, dari kaset yang dulu kita beli waktu jalan-jalan ke pasar Beringharjo. Kalo menurut bapak, itu bikin hati adem dan ayem. Eh, kata orang-orang itu, musik yang sering bapak putar itu medeni. Musik untuk manggil setan, katanya.

Wah, banyak yang ndak ngelingi. Dulu simbah-simbah mereka sering jagongan disini kalau malam. Rokokan pakai klembak menyan sambil ngeteh nasgitel. Kadang kita bicara tentang sawah, kadang kita bicara tentang hasil pancingan, atau kalau baru serius, mereka bicara tentang sejatining urip, tentang hidup. Wah, itu bapak paling menikmati. Walaupun mereka cuma buruh tani, tapi pemahamannya tentang urip dan Gusti itu dalam. Lha dasarnya mereka bergelut dengan urip itu sendiri, memelihara kehidupan kalau kata anak-anak jaman sekarang. Ndak banyak aturan, yang penting itu bisa merasakan Sing Kuwasa.

Eh, simbah-simbah itu sudah banyak yang seda, anak-anaknya mulai banyak yang ndak peduli. Sawah-sawah yang dulu menghidupi mereka mulai ditukar dengan mobil yang cemlorong dan cemolong itu. Sudah banyak yang lupa dengan tempat dolan mereka dulu. Beberapa orang masih sering jagongan kesini dengan bapak, tapi cuma segelintir saja. Lumayan, masih ada bapaknya pak Joko, ada mbak Sumeh yang seda minggu kemarin. Kadang-kadang pakde Jabar atau pak Basiyo juga mampir. Mereka itu yang masih nguri-uri sawah pada masanya, yang masih sempat ngaso dan jagongan disini.

Eh, begitu anak-anak mereka sudah gedhe, mereka dilarang main ke sini. Kata anak-anak mereka, bapak membawa pengaruh yang tidak baik. Lha, sudah dari jaman simbah mereka ada disini, baru sekarang bapak dituduh menghasut mereka. Paham sesat katanya. Padahal kan simbah mereka itu belajar tentang urip dari nguri-uri sawah, bukan bapak yang jadi guru. Guru mereka itu ya sawah, ya kali, ya urip itu sendiri. Anak cucu mereka ndak berurusan dengan sawah, malah menjual sawah itu. Mereka lebih terobsesi dengan pesta di rumah pak Amat atau pak Kris.

Padahal ya, le, pak Amat dan pak Kris itu juga pernah sowan ke rumah bapak. Tujuan mereka mengadakan pesta-pesta dan jagongan itu bagus, tapi banyak yang datang kesana tanpa tahu tujuannya. Mereka suka hura-huranya saja. Lah, dari hura-hura, sekarang tiba-tiba bapak mau diusir hanya karena bapak ndak ikut hura-hura.

Bagong, thole anakku, bapak minta maaf sekali lagi. Bapak mungkin pengecut menurutmu, tapi lebih baik bapak mati di rumah sendiri, daripada harus diusir. Selagi ini masih rumah bapak. Desa kita sudah bukan lagi desa yang bapak kenal, dan bapak juga sudah terlalu tua. Bapak capek, le. Mungkin kamu bisa menghidupkan lagi desa kita dulu besok. Bapak sudah berusaha, tapi tenaga sudah habis. Dari ketiga anak-anakku, kamu yang paling mirip bapak. Kamu tercipta dari bayangan bapak, jadi kamu itu duplikat bapak. Sebagai anak muda, inilah masamu, gong!

Semar

5 comments:

BaS said...

"Kamu tercipta dari bayangan bapak, jadi kamu itu duplikat bapak. Sebagai anak muda, inilah masamu, gong!".....aku seneng statement sing iki....keno tenan!!

Btw, ceritanya bagus.....kamu bagong kah?

Chrysogonus said...

Bukan mas BaS. Ini cuma hasil permenungan kondisi Indonesia akhir-akhir ini

Elly Andoko Private Blog's said...

tak banyak yg bisa melihat kehidupan secerah anda mas chrys,,, semoga semakin banyak bagong-bagong muda terlahir di bumi nusantara ini

Chrys said...

Matur nuwun, mas Elly! Ini hanya permenungan yang lahir di bawah guyuran air.

Endy Fatah Joesoef said...

Wah, inspiratif sekali ceritanya ... Tx. Semoga kita semua selalu dalam lindungan Nya, Rahmat Nya dan keberkahan dari Nya. Amien.