Wednesday, October 08, 2014

Lamunan Pagi Hari

Pagi ini, playlist musik yang biasa menemani perjalananku ke kampus mengkhianatiku. Alih-alih mencerahkan awal hari, ia berturut-turut memainkan lagu-lagu yang sempat menjadi musik pengiring patah hati di masa lalu.

Lagu pertama, ‘Heart Vacancy’ dari The Wanted mengingatkanku pada masa-masa patah hatiku yang pertama, pada sebuah musim dingin jauh di Inggris sana. Dalam kesendirian musim dingin, ketika hampir semua teman asrama pulang ke rumah mereka masing-masing, lagu ini seolah menjadi sebuah lorong dan jalan keluar bagi semua emosi negatif. Seorang sahabat dari Indonesia, seorang penyiar radio pada masa itu, mengirimkan lagu ini setelah mendengar cerita pengalaman gagalnya hubungan pertamaku. Tak disangka tak dinyana, aku menjadi sangat terikat pada melodi dan lirik yang ada di dalamnya.

Kupikir cukup satu lagu ini saja yang akan muncul di playlist. Entah kenapa, telepon genggamku seolah ingin melemparku kembali ke dalam gelapnya masa lalu dan memutar ‘Payphone’ dari Maroon 5. Sial, pikirku. Lagu ini kembali membawaku ke dalam kemarahan besar pada kegagalan keduaku. Marah, murka, dan kecewa. Mungkin itu tiga kata yang cocok menggambarkan apa yang kualami pada saat itu.

Kurang ajar, pikirku! Kenapa aku diberondong luapan-luapan emosi yang ingin kulupakan di pagi hari? Lagu selanjutnya yang dimainkan memang sudah tidak lagi berhubungan dengan masa lalu, tapi benak dan pikirku sudah terlanjur terperangkap dalam lubang hitam kenangan. Sebuah pikiran lalu melayang dan muncul, lagu apa lagi yang mungkin muncul? Bodoh bukan? Bukannya mencoba untuk melangkah ke hari yang lebih cerah, aku justru memperangkap diri sendiri dengan berkubang di dalam lumpur memori.

Bus-ku saat itu sedang melintas di dekat Galaxy Macau. Di sana terlihat sebuah pagar sekolah, Guang Da Middle School. Otakku yang terlalu banyak berpikir langsung terpusat pada salah satu karakter cina yang ada di sana, (Guang). Sebuah karakter biasa yang berarti cahaya. Tapi otak ini langsung teringat dengan nama seorang penyanyi, Guang Liang. Di waktu itulah, sebuah judul lagu dari Guang Liang muncul dalam benak, ‘Yue Ding’.

Beginilah nasib orang dengan benak yang tak pernah berhenti berpikir. Sedikit saja pemicu terlihat, sang benak akan terus berlari tak tentu arah mencari dan menyambar, menyulut api bagi rangkaian-rangkaian peristiwa dan pikiran. Lagu itu tidak pernah punya makna bagiku saat ia baru saja muncul. Baru di tahun 2009, lagu itu menempel dalam benak.

‘Kampret’, sebut saja begitu, adalah seseorang yang sempat menempati kursi khusus dalam hatiku di tahun itu. Kami pernah berangan-angan bersama akan masa depan yang mungkin terjadi, yang mungkin dapat kami jalani berdua. Tetapi, sebuah halangan yang menghadang di depan kami saat itu adalah mimpi kami berdua untuk dapat melanjutkan studi ke luar negeri, Salah satu kekhawatiran yang ia ungkapkan adalah bahwa jarak dan waktu akan memisahkan kami pada saat studi lanjut. Inilah bagian dimana lagu ‘Yue Ding’  menjadi sangat berkesan.

Lagu itu bercerita mengenai sepasang kekasih yang berpisah dan berjanji untuk bertemu lagi tiga tahun kemudian. Setidaknya, salah satu dari pasangan itu masih setia menunggu, masih mengingat janjinya, dan bergeming di tempat yang sama. Studi lanjut kami diprediksikan selama dua tahun, setidaknya. Apakah kami sanggup menjalani perpisahan selama dua tahun? Aku selalu meyakinkan diriku dan dirinya dengan lagu itu, bahwa ada orang yang sanggup menjalani semuanya.

Takdir ternyata berkata lain. Dalam hitungan bulan, banyak sekali yang terjadi. Puncak semuanya terjadi ketika si ‘kampret’ menghilang, pindah dari Yogya tanpa kata pamit. Beberapa kali upaya untuk menyambung komunikasi kembali selalu gagal. Aku akhirnya mendapatkan jalan untuk melanjutkan studi ke Inggris, sementara ia (setahun setelahku) mendapatkan kesempatan melanjutkan studinya ke Belanda.

Tak dinyana, jalan kami bertemu lagi di tahun 2013. Secara tidak sengaja, kami berdua bertemu di sebuah warung tegal di Jakarta. Siapa yang pernah menyangka dan berpikir bahwa pertemuan itu akan terjadi di sebuah kota lain, di sebuah warung kecil yang tidak terkenal. Entah mengapa, lirik dari lagu ‘Yue Ding’ itu benar-benar terjadi. Setelah tiga tahun, kami kembali bertemu dan menyelesaikan semuanya.

Penyelesaian? Di masa lalu, perpisahan kami tidak ditandai dengan kata-kata apapun, tidak ada kata pamit atau selesai. Semua hanya berputar dalam benak saja. Tahu sama tahu, Tetapi tiga tahun berselang, semua akhirnya benar-benar jelas. Semua kemarahan, semua perasaan sayang, dan semua mimpi yang pernah kami pendam berdua akhirnya benar-benar disegel dengan sebuah kata ‘TAMAT’.

Lamunanku berakhir ketika speaker di dalam bus berteriak, menandakan pemberhentianku sudah dekat. Lamunan dan  permenungan yang cukup panjang dari sebuah otak yang cukup ‘random’.


Ah, lagu ajaib itu… Lagu yang benar-benar terjadi dalam hidup…

No comments: