Friday, March 05, 2010

Simfoni Malam

Malam sudah tidak lagi berbintang, ditelan oleh kelamnya bayangan. Aku terduduk diam di teras rumah yang dingin, ditemani secangkir kopi hangat dan angin sepoi yang mengusir dinginnya tiupan angin. Satu-satunya lampu di teras itu menyala dengan putihnya, seolah berupaya menjadi imitasi dari sang surya. Sangat kontras dengan kegelapan yang mengungkungku dan bangunan ini. Rumah kecil yang kutempati ini terang benderang oleh cahaya listrik, tetapi tetap saja hanya menjadi sebuah serangga kecil yang tak berdaya di tengah angkuhnya kegelapan yang menyelimuti. Bagaikan sepercik bunga api yang tak berarti.

Di depan mataku, terbentang rimbun jajaran pohon cemara yang berdesir tertiup angin. Mereka terbungkus oleh selubung pekat yang tebal, hanya samar-samar dapat kulihat pucuk-pucuk pohon itu. Siluet tak jelas yang menggambarkan langsingnya ranting-ranting cemara itu. Mereka semua berdesir tertiup angin yang menimbulkan siulan lembut, bagaikan sebuah orkestra sederhana yang membuai hati, membawakan simfoni malam hari nan lembut. Sesekali gemerisik dedaunan yang saling tergesek menghantarkan melodi-melodi spontan, mewarnai kentalnya nada-nada kegelapan.

Uap kopi berwarna kelabu bening mengepul dari cangkir kopiku, menghantarkan bau nikmat yang cukup menyengat. Ia menggelitik lubang hidungku dengan aroma khas, mengusir beban-beban yang menimbun kelopak mataku. Pelan tapi pasti, asap-asap kecil itu meliuk di udara, semakin tinggi dan semakin hilang terkena panasnya cahaya lampu. Ah, cahaya yang mengacaukan keindahan laku imajiku.
Sekelebat keinginan melayang di depan benakku. Kenangan akan gemericik sungai yang senantiasa menemaniku di kala kecil. Sungai dengan airnya yang jernih, yang menyuarakan ritme mitis penuh kedamaian. Ia membawaku seolah mengalir mengikutinya. Tanpa kusadari, suara-suara dalam benakku itu mulai berpadu dengan gemerisik dedaunan cemara. Angin yang menggerakkan ranting-ranting itu turut pula mempengaruhi kemericik aliran sungai. Pelan tapi pasti, suara cipratan air yang menghantam kerikil-kerikil kecil itu bergema pelan di relung sepi benak kepalaku. Crik! Crik! Crik! Dengan irama yang tetap, getaran-getaran ritmis di benak itu membawa suasana tenang meditative ke hadapanku.

Sebuah tangan lembut yang tak terlihat membelai kudukku. Ia begitu hangat, tapi begitu dingin di saat yang bersamaan. Desau sunyi sang angin berputar di sekeliling leherku, member kisikan lembut untuk bergabung dalam kisah simfoni malam hari. Siulannya lembut membelai rambutku, menggeser dedaunan kering yang terhampar di pekarangan rumah, semakin menambah hening suasana dengan suara keseran daun. Ia berputar pelan, berputar dalam gerakan spiral yang tidak beraturan, berupaya membentuk sebuah lingkaran sempurna, tetapi tidak berujung dan berpangkal.

Duk! Suara cangkir kopi yang kuletakkan di meja memecah nada-nada yang terjalin oleh para penguasa malam itu. Sesaat, simfoni indah yang membelai telinga itu sirna. Berhenti sejenak, menantikan langkahku selanjutnya. Perlahan tapi pasti, aku menuruni tangga kayu di depan teras, berjalan menghampiri pelukan kuat sang malam, meninggalkan cahaya yang ada di belakangku. Aku mendekati tiupan dingin yang siap menyambutku dengan seringainya, menantikan masuknya aku ke dalam kedalaman sang kelam.

Kakiku merasakan lembabnya rerumputan yang basah oleh embun malam. Rumput hijau yang kehilangan warnanya karena ditelan oleh bayangan Chandra. Mereka merentangkan daun-daunnya, membuka pelukan-pelukan kecil, menyambut sesosok makhluk dari cahaya buatan yang menuju dinginnya hembusan angin utara. Udara dingin menyambut wajahku dengan belaian-belaiannya yang membuatku menutup mata selama beberapa saat. Uap-uap air yang menari-nari di antara hamparan rumput dan hitam yang menggantung mulai memasuki hidungku, menggelitik syaraf-syaraf penciumanku dengan wanginya yang khas.

Aku melihat sosok wanita dalam kegelapan, berdiri di antara rimbunnya dahan cemara. Tapi ia menghilang dengan cepat, menyatu kembali dengan tarian yang digerakkan oleh usapan lembut sang Bayu. Mungkin hanya ilusiku saja, kegelapan senantiasa mencoba menyesatkan kita di gerbangnya dengan bayangan palsu. Itulah yang membuat manusia takut, melihat apa yang ada di luar, tidak melihat esensi dari bayangan itu. Bayangan yang tercipta justru dari adanya cahaya.

Dengan duduk bersila di hamparan rumput, aku menajamkan telingaku. BErusaha untuk kembali mendengarkan alunan simfoni malam. Tunggu, apakah ini yang dinamakan wirid? Masuk ke dalam keheningan malam dan memusatkan pikiran dengan alunan bunyi alami yang keluar dari mulut. Aku tidak perlu membuka mulutku, karena alam telah menciptakan bunyi-bunyi alaminya bagiku. Kriiik! Kriiik! Kriiiik! Nyanyian jengkerik yang cukup kencang, semakin menghantar benakku ke dalam alam kesunyian.

Tiba-tiba semua gelap, dan mataku menghilang. Aku melihat semuanya dengan jelas, melihat menembus gelapnya tirai pekat ini. Aku melihat indahnya kerlip bintang di langit, bertaburan menghiasi mahkota sang bulan yang tersenyum malu. Justru di dalam kebutaan malam, aku dapat benar-benar mengalami hangatnya tatapan sang bulan dan senyum sintal para bintang. Seolah-olah aku terbebas dari cahaya buatan manusia yang dangkal. Cahaya itu tidak akan pernah bisa menggantikan matahari yang telah menghidupi kehidupan di bumi selama berabad-abad. TIdak pula benar-benar bisa mengusir kegelapan.

Rasa rindu yang mendalam merasuk ke dalam hatiku, rasa rindu yang terasa amat tua dan besar. KErinduan seorang anak manusia untuk masuk kembali ke dalam rahim sang bunda yang telah membesarkannya selama berabad-abad. Rasa rindu untuk kembali bergulung-gulung bagaikan bayi yang baru lahir di dada sang ibu. Menyusu dan merasakan ketentraman.

Aku merebahkan diriku di dada sang ibu purba. Sang ibu yang senantiasa menjaga dan mengawasi jutaan anaknya, sang ibu bumi, tempat semua kehidupan berasal dan dibesarkan. Ia muncul di depanku, dalam wujud dada raksasa, tempat dimana aku menyatu dalam pelukannya. Sang bunda hadir dalam rupa dekapan erat dari rerumputan dan tanah yang hangat.

Ini adalah rasa yang telah lama kucari, lepas dari segala kepenatan dan kembali menyusu sari kehidupan sang ibu sejati. Sosok yang selalu mengayomi dan menjagai, melahirkan dan mencintai, menerima segala penderitaan dan kerusakan dirinya karena ego anak-anaknya. Figur yang mengasihi tanpa pernah sekali pun mengharapkan kasih itu kembali, karena tidak semua anaknya menyadari kasih itu. Menyayangi dalam gelap, mengasihi dari pekat.

Ia tersenyum, dan aku pun rebah dengan tenang. Telanjang di depan sang Pertiwi.

No comments: