Monday, January 26, 2015

Penyangkalan Diri / Denial

Tiba-tiba saya tergelitik ingin berbicara mengenai penyangkalan diri – atau istilah kerennya self-denial. Entah mengapa, akhir-akhir ini banyak sekali teman dan kenalan saya yang sepertinya sedang bergulat dan bergumul dengan masalah ini. Well, sebelum masuk ke tulisan saya yang aneh, panjang, (se)lebar (perut saya), dan (mungkin tidak) bermutu, saya ingin menyampaikan kesimpulan dulu. (Tuh kan, benar-benar sangat bermutu. Kesimpulan kok di depan? Harusnya kan di belakang!)

Nah, kesimpulan dari penyangkalan diri ini adalah penderitaan diri sendiri (yang sebenarnya tidak usah ditulis juga semua orang sudah tahu). Nah, kebetulan saya sendiri juga pernah punya pengalaman dengan yang namanya self-denial ini dan berakhir dengan tersiksanya diri saya selama empat tahun. Mau nonton tv nggak enak, mau baca buku tidak bisa sepenuhnya konsentrasi, tapi kalau mau makan tetap lahap sih.

Semua berawal dengan kebencian saya terhadap suatu benda bernama kacamata. Iya, bertahun-tahun saya benci dengan kacamata. Bagi diri saya yang masih kecil dan imut-imut waktu itu, memakai kacamata membuat saya terlihat lemah dan cacat. Habisnya, selalu ada himbauan untuk tidak memukul orang yang berkacamata. Sudah begitu, pelajaran IPA sejak SD selalu menyebutnya dengan ‘cacat mata’. Nah, sebagai siswa yang baik, saya kan mengamini semua yang saya pelajari dan memasukkan semuanya ke dalam memori otak, hati, dan jiwa.

Dari upaya menggali-gali memori, saya menemukan sebuah fragmen hidup yang sebenarnya cukup menggelikan dan memalukan. Kejadiannya saat saya masih duduk di bangku kelas 2 SD. Nah, keantian dan kebencian saya terhadap kacamata berpadu dengan fantasi anak-anak yang masih sangat liar (sampai sekarang masih liar sih sebenarnya). Saat itu, dengan mulai bertambah banyak anak-anak yang memakai kacamata di kelas, saya mulai menganggap bahwa ada penyakit dan virus yang menyebar di sekolah. Virus KM (alias Kaca Mata), begitu kami menyebutnya. Eh, kami??? Iyaa!! Saya membentuk sebuah kelompok detektif untuk menyelidiki penyebaran virus KM ini. Saking liarnya fantasi saya (yang saat itu menjadi pimpinan dari grup detektif ini, kami sampai punya sebuah buku khusus yang berisi analisa penyebaran virus KM dari kedekatan tempat duduk, kedekatan rumah, dan juga silsilah keluarga.

Nah, ternyata karma itu menyebalkan. Saat saya mengecap bangku pendidikan di kelas 6 SD, penglihatan mata kiri saya mulai kabur. MAMPUSSS!!! Itu pikiran pertama yang terlintas di benak saya saat itu. Saya jadi orang cacaaat!!! Saya jadi orang lemaaaaah!!!!! Pokoknya waktu itu membayangkan diri saya memakai kacamata itu sudah sebuah mimpi buruk tersendiri. Lebih parah lagi, sahabat dekat saya waktu itu mulai memakai kacamata juga. (Sepertinya kami berdua terlalu banyak bermain video game dan membaca komik sambil tiduran).

Kenapa saya ikutan panik sewaktu mengetahui sahabat dekat saya memakai kacamata? Karena yang ada di pikiran saat itu adalah pertanyaan dari orang tua mengenai dia, lalu kecurigaan mereka akan keadaan mata anaknya. Mampus! Pasti bakal dicek mata!!! Sudah begitu, tiba-tiba di dua kelas sebelah tiba-tiba ada pengecekan mata dari Puskesmas setempat. Tiba-tiba saja di minggu berikutnya, jumlah anak yang memakai kacamata di sekolah bertambah cukup banyak.

Bukan saya namanya kalau hanya diam berpasrah pada nasib. Lalu apa yang saya lakukan? Pertama, mulai mencuri wortel  mentah dari kulkas di rumah saya dan rumah Opa. Kan konon katanya wortel itu bagus untuk mata. Jadilah saya semacam siluman kelinci yang setiap siang isinya menggigiti wortel mentah secara sembunyi-sembunyi. Yang kedua, saya membaca pola jadwal pemeriksaan mata yang ternyata seminggu sekali. Jadilah di tiap hari yang saya curigai akan ada pemeriksaan mata, malamnya saya tidur telanjang di depan kipas angin. Harapannya akan masuk angin, sehinga bisa bolos sekolah persis di hari itu.

Nah, ternyata keberuntungan itu tidak jauh dari saya. Kelas saya dilompati!!! Entah kenapa, tapi benar-benar semua amaaan……

Memasuki jenjang SMP, saya masih dengan pedenya tidak memakai kacamata. Padahal pandangan semakin lama semakin bertambah kabur. Alhasil, setiap kali saya terlambat dan kebagian tempat duduk di belakang kelas, doa saya adalah guru-guru yang mengajar di hari itu tidak menuliskan catatan di papan tulis. Yang lebih parah lagi adalah soal ulangan yang ditulis di papan tulis. Aduh, mata sudah dipicing-picingkan seperti apapun masih tetap tidak terlihat semuanya. Akibatnya, saya sering dengan takut-takut minta tolong teman sebangku untuk menuliskan soal ulangan itu. Nah, karena soal ulangan itu ditulis di secarik kertas kecil, jadilah saya terlihat seperti sedang menyontek. Haduh, pertaruhan nama baik saya sebagai seorang siswa baik-baik.

Di rumah, nasib saya tidak jauh lebih baik. Saat itu, TV ditaruh di atas lemari yang cukup tinggi. Nah, jadilah saya menonton TV dengan jarak yang cukup dekat. Sudah begitu, agar tidak ketahuan orang tua kalau saya selalu memicingkan mata, saya punya posisi sendiri, dimana saya terlihat seperti sedang bertopang dagu. Padahal sebenarnya posisi telapak tangan saya itu menyamarkan picingan mata. Sayang sekali, dengan posisi itu saya jadi tidak bisa menonton TV sambil makan. Sialnya lagi, pada waktu itu bapak baru saja membeli VCD player. Film-film yang seharusnya bisa menghibur saya justru menciptakan sebuah tantangan baru.

Begitu lulus SMP, saya memutuskan untuk jujur saja kepada orang tua saya. Pikiran saya waktu itu toh teman-teman di SMA juga teman-teman baru. Mereka tidak kenal saya sebelum saya berkacamata. Eh, sudah ada keputusan untuk jujur, saya malah bingung bagaimana saya harus mengaku kepada mereka?

Entah malaikat mana yang secara tiba-tiba mengetok kepala orang tua saya, sehingga suatu sore mereka sadar mendadak. Saya sedang makan malam sambil membaca buku di meja makan dengan posisi sama seperti biasanya, ibu tiba-tiba berteriak, “Baca buku kok dekat-dekat! Matamu nggak keliatan? Jangan-jangan kamu minus?”

BADALAAAAAH! Posisi ini dan kebiasaan ini sudah saya lakukan selama empat tahun, biasanya tidak ada komentar. Eeeh, ini kok tumben sadar. Benar-benar ada malaikat yang menggetok nih.

Dan dari sore itulah, saya akhirnya menerima nasib sebagai seorang pemuda harapan bangsa yang berkacamata. Ternyata, masih tetap tampan sih….


Kesimpulannya? Sudah ditulis di ataaas!!!!

Sunday, November 16, 2014

Kelas Hidup dan Pelabuhan Terakhir

Satu kelas hidup telah selesai. Saya sudah mempelajari semua hal yang harus dipelajari dari kelas itu. Saatnya melangkah menuju kelas lain dengan tingkat lebih lanjut.

Rasa-rasanya itulah yang coba saya tanamkan dalam otak dan benak belakangan ini, sebuah percobaan untuk menghibur diri sendiri dari satu peristiwa yang terjadi baru-baru ini. Lagi-lagi saya menjadi korban permainan paling kejam di dunia ini, permainan cinta dan hati. Entah mengapa, saya yang oleh banyak teman digelari sebagai seorang strategis dan manipulator handal selalu menemui kekalahan dalam permainan ini. Entahlah....

Jika pada kejatuhan-kejatuhan kemarin, saya terfokus pada segala hal yang buruk dan negatif, saat ini saya mencoba hanya melihat hikmahnya saja. Setidaknya, saya belajar kembali untuk membaca semua tindakan secara positif, tanpa ada motif apapun di baliknya. Dua kali berpacaran dengan drama queen mau tidak mau membuat saya selalu curiga dengan segala macam tindakan. Yah, kali ini walaupun ujung-ujungnya saya tetap disakiti dan dikecewakan, ternyata tidak ada motif apapun di balik semua kata-kata ataupun tindakannya.

Saya juga belajar bahwa ternyata masih tersisa kemampuan untuk mencintai dan menyayangi seseorang dengan sungguh-sungguh. Setelah kegagalan saya di relasi terakhir, tak pelak otak dan logika seolah berkata bahwa saya tidak lagi mampu mencintai. Semua berondongan ejekan, hinaan, dan tuduhan-tuduhan buruk seolah masuk merasuk ke dalam hati dan pikiran, membuat saya merasa bahwa semua itu benar. Apakah masih ada orang yang sanggup menyayangi saya? Itulah pemikiran yang selalu terbayang, selalu melayang menutupi akal sehat.

Mungkin, saya memang masih harus banyak belajar mengenai segala macam hubungan, relasi, dan masalah hati. Mungkin, saya masih diberikan banyak waktu untuk belajar lebih banyak. Maka dari itu, Yang Di Atas belum memberi saya kelulusan dan garis finish pencarian saya akan pelabuhan terakhir. Bukankah itu sejalan dengan misi hidup saya? Misi hidup untuk selalu belajar, belajar, dan belajar. Yah, anggap saja bahwa ini salah satu pengabulan doa saya untuk tidak pernah berhenti belajar. Semua itu kelas, semua itu mata pelajaran. Lulus dari satu kelas, masih terbuka kemungkinan untuk melanjutkan di kelas yang lain. Saat ini, saya sepertinya masih diberi banyak sekali SKS hidup, untuk terus mendalami misteri-misteri sosial yang ada.

Tidakkah saya rindu untuk melabuhkan diri? Tentu saja jawabannya adalah iya. Tetapi saya ingin sekali mencari dan menemukan pelabuhan terakhir itu, pelabuhan di mana kapal saya bisa terikat dan langkah di atas bumi bisa segera diayunkan. Tidak ada yang lebih sakit daripada mengalami pelabuhan sementara. Ilusi yang lebih menusuk dibanding sebilah pedang, ketika terlihat sebuah pelabuhan yang seolah nyaman dan mengundang. Ketika sudah berlabuh, ternyata karena satu dan lain hal layar harus kembali dikembangkan. Dan pelabuhan itu tidak lagi bersahabat untuk kembali dikunjungi.

Syukurlah sebuah pelabuhan ilusi berhasil dihindari sebelum saya sempat berlabuh dan meregangkan otot. Selalu ada hikmah dari setiap luka yang tergores. Selalu ada sesuatu yang bisa dipelajari. Dan kelas tidak akan pernah berhenti.

Wednesday, November 12, 2014

Mantan Terindah

You never forget your first. And maybe that’s the reason why I can never erase you from my memory, from my brain. But really, who can easily forget their first relationship?

‘Tir’, that’s how I always refer to you. That nickname always invokes an image of a girl with oversized frisbee as her weapon, a female fighter from Soul Calibur series. Ahaha, such a typical geeky reference, isn’t it? But didn’t we have those gaming moments together? Those were the times when you kind of breaking my confidence (and my winning streak) in Tekken 5 and Soul Calibur 3. How often can a man share his video game moments with his significant other (not to mention being beaten repeatedly)?

I got back at you by showing up in front of your door, carrying in my hand a bouquet of white and yellow roses. Your expression at that time was just too precious to forget. I could even see a big question mark formed on your forehead, along with your shaky voice and trembling hands. It was the night when I finally got enough courage to ask you to walk our life together.

But if I have to be very honest now, please allow me to confess. You were beautiful to me for erasing my doubt then. Recalling those years, I really had massive hesitation to be in a relationship. Before you, I was this close to go steady with a girl I met in my class. My heart said that having a relationship before going for my master study was a stupid decision. That was why I didn’t follow up the approach with her. You, Tir, was a different case. You had me at our first meeting; you trapped me in that gentle hug and sweet conversation. Those things culminated in that very night, inside the roses.

I came with my share of baggage, a gigantic memory from my first love, terrible moments from several months before I met you, and my family problem. They always scared people off, both before and after you. It didn’t happen with you, though. You seemed to handle everything normally, even made it easier for me to deal with them. We understood each other, also in being a social butterfly. Hanging out with our friends never seem to cause any problem for both of us. Nobody felt neglected, we understand the concept of our own times and private spaces.

With all those, I naturally thought that we would last. No. We were still young and stupid back then. You are my first; I am also your first. We couldn’t handle all those emotional roller coasters, all the turmoil and frictions. Both of our naïve minds called it off on Christmas Eve. (And today I just read that Agnetha and Benny from ABBA also splited up on Christmas Eve. Well, maybe nothing significant, just my random mind wandering around)

After the separation, we still retain that chemistry. You were there, in my every relationship and in their demise. You were hurt every time, and I am sorry for that. It was never of my intention to hurt you. Every time we tried to rekindle the flame, I was always the one putting that off. Maybe I am the bastard of our connection, constantly grafting new scars in you. Maybe you won’t believe me again when I said that it was unintentional. But you were always there. How can I not be moved?

Each and every time, you can always lift me up again. We may walk our own road right now, with no light of meeting up again; but you were always there to cheer me. In your own way, in your own time. How can I forget our conversation of Marcell’s song? How can I forget our skype sessions?

Last night, you were there when I was down. You provided me with ears to listen, you gave me a virtual lap when I can sleep on for a while, and you provided me with the warmth I need in this cold winter, cold heart, cold soul. I was able to finally sleep in peace, knowing that there was one thing I did right in the past. You. Yes, you.

Talking to you is slapping me with some senses, that at least for one person, I was precious. Instead of wiping off my tears from heartbroken, you instilled laughter in my heart. It was fun. You made everything fun. Or should I say, you made fun of everything. And it worked!!!

This morning, as I woke up from my slumber, one song came to mind. Mantan Terindah. And it reminds me of you.


So I wrote this for you, a small gratitude of what you’ve done to me…..

Monday, November 10, 2014

Days of Cursing

Sometimes I cannot help thinking that in the race of love and romance, I will always finish last.

Maybe it's my confidence issue, maybe it's the baggage I've carried since my childhood, or maybe it's just my terrible luck. I don't know.....

Is this the payback for all my academic opportunities? I used to think that it's okay to be devoid of love as long as I can advance in academia; but what I meant was me being unable to feel love within. The love deprivation that I have now is just too torturing, constantly being in a roller-coaster of emotion; of love and hatred; of adrenaline rush and tear shedding.

Back in the past, I was thinking of swearing off love and relationship. Yet Big Boss is such a big fat joker, He kept making me falling in love, getting my hope up high, and suddenly... BAMM! I was tossed to the ground from such height.

Maybe once is okay,  maybe twice is still tolerable, but repeatedly? REPEATEDLY? Will I even have enough energy to pick up my pieces every time?

I don't know. Even this writing is all over the place, such an incoherent composition.

I hate your jokes, dear Big Boss!!!!

Thursday, October 16, 2014

Surat bagi diriku sendiri, 15 tahun yang lalu

Halo le,

Ini aku, kamu sendiri lima belas tahun yang akan datang. Aku membayangkan (dan mengingat) kamu pasti masih memakai baju seragam putih biru itu. Rasanya masih segar dalam ingatan, kemeja putih yang sudah berubah warna kekuning-kuningan dan celana pendek biru yang jahitan di bagian kanannya sudah sedikit robek. Iya, aku masih ingat celana seragam yang terlalu pendek itu, yang membuatmu banyak dihina orang-orang karena dianggap memamerkan keseksian paha. Padahal apanya sih yang seksi? Paha kecil kurus kering milik seorang anak kelas dua SMP? Seksi dari mana?

Dalam bayanganku, kau saat ini pasti sedang berjalan di jalan Juwadi, bagian belakang SMP 5 yang berdebu itu. Rambut ikalmu berantakan, kepala menunduk, dan kedua tangan menggenggam erat tas ranselmu. Masih kuingat, terlalu segar dalam ingatan dan takkan bisa terlupa. Kalau tidak salah ingat, saat itu kau menyenandungkan perlahan sebuah lagu yang kau tulis sendiri liriknya, lagu dengan irama yang tidak jelas juntrungannya. Tapi apa peduli kita pada kualitas melodinya? Kita hanya butuh berteriak, mengeluarkan apa yang ada di hati. “I’m in trouble, I have a problem, please my Lord help me, give me a way!” Kira-kira begitu kan bunyi refren lagu itu?

Kau saat itu sedang bertanya-tanya, beranikah dirimu melompat ke tengah jalan di saat sebuah bus kota melintas. Beranikah kau mengakhiri hidupmu sendiri? Dan masih banyak sekali alternatif bunuh diri lain yang berkelebat dalam otakmu. Aku tahu, pasti banyak orang yang membaca ini akan berpikir bahwa kau tak lebih dari seorang pengecut yang tak berani menghadapi kerasnya hidup. Dan aku ingat, kau juga pernah berpikir seperti itu, bahwa kau tak lebih dari seorang pengecut tanpa keberanian.

Seandainya aku bisa berada di sana, bisa berada di saat itu, aku pasti akan menepuk-nepuk pundakmu. Hanya itu yang kau inginkan, hanya itu yang kau butuhkan. Seseorang yang tahu bagaimana rasanya menjadi seorang yang tidak diharapkan, yang selalu kenyang dengan hinaan sehari-hari. Kau butuh menangis keras, sesuatu yang tidak pernah berani kau lakukan di saat itu. Dengan hinaan “banci” yang disematkan karena kau tidak bermain bola, tidak mendengarkan musik-musik mainstream di saat itu, menangis menurutmu hanya akan membuatmu menjadi lebih tidak lelaki. Tapi kau butuh melakukannya, kau butuh menangis dan mendengar kata-kata, “Semuanya akan baik-baik saja di masa depan!”

Aku ingin sekali bisa memberikanmu kata-kata itu, menjanjikan bahwa semua akan baik-baik saja, menunjukkan bahwa akhirnya kau akan bisa keluar dari stigma ‘berbeda’ dan hidup seperti orang-orang yang lain. Tapi kenyataan yang ada tidak seperti itu, doel.

Sampai kapanpun, kamu akan selalu berbeda. Kamu itu unik, doel, berbeda dengan teman-temanmu yang lain. Bahkan sekarang, lima belas tahun setelah tahun-tahun mengerikan itu, kamu masih berbeda dengan mereka semua. Tapi semua yang kamu alami itu akan membuatmu lebih kuat, membuatmu mampu bertahan dalam banyak hal. Jangan menyerah, karena aku tahu kamu akan bertahan (kalau tidak, bagaimana mungkin surat ini datang padamu?).

Bully tidak pernah hilang, le. Mereka akan selalu ada, selalu menghadangmu di depan. Mereka hanya berubah bentuk, mereka hanya berubah rupa dan suara. Tapi kamu sudah pernah mengalaminya, sudah ditempa dengan kuat untuk melaluinya. Akan tiba waktunya ketika kamu menyadari bahwa seharusnya kamulah yang harus mengasihani mereka; atas kelemahan mereka.

Kalau meminjam kata-kata Yesus di Alkitab (jangan khawatir, doel, kamu tidak akan tumbuh menjadi manusia super religius kok!), semakin bagus anggur yang dihasilkan, semakin keras pula tekanan yang diberikan. Tekanan-tekanan yang diberikan padamu justru membuatmu bekerja semakin keras, karena ingin membuktikan dirimu sendiri.

Aku ingat bahwa kamu pernah (atau mungkin sedang) mencoba menjadi bagian dari mereka. Kamu bangun di pagi-pagi buta demi menonton pertandingan demi pertandingan Fiorentia, kamu memelototi semua berita olahraga dan sepak bola di koran setiap pagi, bahkan berusaha menghafal semua nama-nama pemain bola yang asing itu dari majalah Liga Italia dan Liga Inggris. Semua hanya demi bisa bercakap-cakap dengan teman-teman sekelasmu kan? Padahal kamu tidak pernah benar-benar menikmatinya. Hanya membuat batinmu tersiksa. Atau ketika kamu membeli sebuah bola bersama-sama dengan empat empat teman yang lain, memaksa diri bermain bola (walaupun sebenarnya kamu hanya ingin duduk di kelas dan lanjut membaca Animorphs), bahkan ikut tim kelas dan berdiri di lapangan menjadi bek (yang bahkan kamu sendiri tidak tahu harus melakukan apa).

Jangan khawatir atas kegagalanmu masuk dan ‘berubah’. Justru kalau kamu berubah, selalu berubah, semua tidak akan pernah selesai. Tuntutan sosial dan masyarakat selalu berganti, dan kamu hanya akan kehilangan dirimu sendiri. Jangan khawatir, pada waktunya kamu justru akan melihat betapa mereka sesungguhnya adalah korban konstruksi sosial, korban-korban yang terperangkap dan tidak bisa keluar dari tuntutan-tuntutan yang tidak masuk akal. Di saat itulah, rasa kasihan akan membuncah dan sedikit banyak kau akan lega atas semua pencerahanmu.

Yang kuat, le! Pada saatnya, kamu akan membantu orang-orang sepertimu, seperti kita. Tanpa pengalaman ini, kamu tidak akan bisa memahami mereka. Dan kita tahu, yang  mereka butuhkan hanya dipahami, hanya tempat yang aman. Kita membantu dan pada saat yang sama kita juga dibantu.

SMP cuma tiga tahun kok. Setelah itu, masa SMA tidak akan seburuk yang kamu bayangkan. Kamu akan bertemu banyak teman-teman yang membantumu melihat dunia. Masa SMA-mu akan cukup berbeda, tidak seperti yang kau baca dan tonton. Lepas dari tiga tahun di SMA, kamu akan menemukan banyak teman dan sahabat –orang-orang yang tidak akan mempermasalahkan keunikan-keunikan dirimu.


Doel, kamu akan bisa melihat dunia lebih banyak daripada teman-temanmu itu. Kamu akan pergi jauh, memperoleh perspektif baru, dan berkelana. Surat ini pun tidak kutulis dari Indonesia, doel! Bukan kaya harta, tahta, atau wanita, kamu akan menemukan kebebasan yang lebih berharga dari semua itu. Dunia tidak hanya selebar SMP 5 atau Kotabaru, dunia tidak hanya seluas kota Yogya, atau bahkan Indonesia. Bermimpilah, karena mimpi-mimpimu itu yang akan menjadi sayapmu, mengepak jauh pergi. Saat kau melayang, akan kau sadari betapa orang-orang itu tidak lebih besar dari semut hitam…….