Wednesday, October 18, 2006

Luka Buana

Kota ini dipenuhi dengan bintang-bintangnya sendiri, yang justru bercahaya lebih terang daripada permata-permata yang bertaburan di hamparan langit hitam kelam di malam ini. Bahkan sang candra yang menampakkan seluruh wajah dan mukanya tanpa malu-malu pun seolah telah tertutup oleh kabut yang membuatnya tidak seceria abad-abad yang lalu.
Tidak jauh dari situ, persisnya di hamparan bumi, orang-orang mulai bergerak untuk kembali masuk ke dalam peraduan mereka yang nyaman dan hangat, tinggalkan udara dingin yang membelai sumsum mereka dengan sangat keras. Suara-suara mulai berkurang, tinggalkan semua sudut kota di dalam kesunyian yang terbalut oleh kilauan lampu-lampu kota.
Sunyi, hanya sesekali terdengar suara mesin kendaraan yang lewat di jalan besar itu. Yang ada hanyalah suara perlahan desingan nyala lampu yang senantiasa terlupakan dan tidak pernah terperhatikan. Sosok-sosok gelap mulai mengambil alih kota itu, menguasainya di dalam kerajaan malam yang hening dan meditatif.
Dari tengah pelukan malam itu, terdengar sebuah langkah kecil dari seorang wanita muda yang memeluk dirinya sendiri. Sepanjang jalannya, yang ada hanyalah sosok-sosok tubuh orang yang tidur di emperan toko, mencoba mencari sepercik kehangatan di balik penutup tubuh mereka yang seadanya. Sesekali terdorong oleh rasa penasaran akan suara gema langkah kakinya sendiri, ia menoleh untuk melihat siapakah yang berjalan di belakangnya. Dan yang didapatinya hanyalah sepi yang meraja.
Ia menghela nafasnya lega dan berbisik dengan suara lirih, “Wajah kotaku di malam hari..... Beda.....”
Sesosok asap tipis yang mengepul dari ujung jalan itu menarik perhatiannya. Dengan tangan mengencangkan jaket yang dipakainya, ia segera menuju ke arah itu, berharap menemukan teman untuk malam ini.
Benar, di sana ia menemukan seorang lelaki yang sedang menikmati rokoknya. Terjaga dan sadar di tengah gelapnya malam, yang berada di antara tubuh manusia yang tertidur di sekitarnya.
“Malam, mas!” sapa wanita itu memberanikan diri.
Ia menoleh ke arah wanita itu, meneliti dan mengamati keseluruhan sosok itu, kemudian membuang pandangannya, meneruskan rokok yang sedang dihisapnya.
“Boleh saya duduk di sini?”
Ia kembali mengacuhkannya.
Wanita itu membungkukkan badannya dan mengambil tempat di samping si lelaki.
Lelaki itu tidak menoleh ke arahnya, malah semakin asyik memainkan asap rokoknya dengan pandangan menerawang ke arah langit.
“Mas anak kos?”
Diam, berpadu dengan kesunyian sang penguasa gulita.
“Sudah lama nongkrong di tempat ini?”
Asap tipis itu tetap bergulung di udara, membentuk gambaran-gambaran luwes yang indah, bagaikan patung-patung yang dipahat dari kaca buram, dengan segala lekukannya yang mempesona. Ia bergerak bagaikan seekor ular lincah yang meliuk-liuk, mencoba untuk membuat sebuah seni temporer yang sangat indah.
Wanita itu menoleh dan tidak melepaskan pandangan darinya. Sementara, si lelaki tetap berada di dalam dunianya sendiri.
“Saya Ila,” ucap wanita itu.
Ia tidak mendengarkan.
“Mas siapa?”
“Pulanglah!” bentak si lelaki. Matanya tetap terfokus pada gelapnya malam yang diiringi suara lembut sang bulan yang menari di balik kelambu tebal dan deik lampu jalanan.
Wanita itu tidak beranjak. Ia menggeleng dengan lembut. “Saya tidak bisa tidur. Toh, rumah saya hanya di gang sebelah.”
“Tidak baik seorang gadis keluar di tengah malam seperti ini,” suaranya dingin, tanpa emosi. Matanya tetap menerawang ke depan, sama sekali tidak menatap lawan bicaranya.
“Saya hanya ingin menghabiskan malam ini, masuk dalam kesunyiannya,” jawab Ila.
“Kesunyian? Huh!” ujarnya. “Kau mau masuk ke dalam kesunyian malam? Pulanglah! Kau tidak tahu apapun tentangnya!”
“Mas siapa?”
Ia menghembuskan nafas rokok itu lagi ke udara, sekali lagi mengeluarkan ular asap itu, yang membumbung naik dengan menggeliat meliuk.
“Aku bukan siapa-siapa.....”
“Maksudku, nama mas? Itu kalau mas tidak keberatan.....”
Ia menoleh. “Apalah artinya namaku? Aku tidak pernah ada, dan hanya hadir untuk dilupakan....”
Ila menghembuskan nafasnya perlahan, seolah-olah berharap dapat juga mengeluarkan liukan sang naga dari mulutnya untuk kemudian menari di langit malam itu, sembari menari melenggak-lenggok membentuk sebuah karya seni.
“Pulanglah. Kau gadis baik-baik, dari keluarga baik-baik. Jangan di sini. Ini bukanlah tempatmu!” ujarnya.
Ila menggeleng. “Apa yang salah dengan keberadaanku di sini? Aku punya hak untuk ini!”
“Apa yang salah?” tanya si lelaki ketus. “Semuanya salah. Kau tidak seharusnya memasuki tempat ini!”
Diam sejenak, seakan sang penguasa malam beranjak bangkit dari singgasananya dan mengucapkan sebuah sabda kesunyian yang memenuhi seluruh balairung istananya. Hanya desiran angin dingin dan getaran lembut lampu jalan yang menyala memasuki dan menari di telinga kedua orang tersebut.
Telapak tangannya bergerak perlahan, menyapu pipi Ila. Ia mendesah pelan, sebelum akhirnya melepaskan tangan itu.
“Kau cantik, gadis murni tak bernoda.....”
“Apa maksudmu?” tanya Ila ketakutan.
“Dan sekarang kau takut!” sahutnya. “Bagus! Takutlah, dan segera pergi dari sini! Ini bukan duniamu!”
“Kau.....”
“Masa depanmu terbentang luas nan jauh di depan. Tinggalkan kesunyian ini, dan kembalilah ke duniamu. Kau tidak akan mendapatkan apapun dari sini!” kata si lelaki, berusaha menyingkirkan Ila dari tengah kenyataan dingin malam.
Ila tergagap. Nafasnya memburu. Ketakutan. Penasaran. “Sebenarnya, apa yang kau mau dariku?”
“Jangan masuki kesunyian ini. Tempat ini adalah hutan belantara pengasingan bagi orang-orang yang tidak diterima oleh masyarakat. Manusia-manusia yang dianggap sampah oleh sekitarnya!” ucapnya tegas.
Wanita itu menggeleng. “Aku.....aku tidak tahu maksud semua perkataanmu itu!”
“Lihatlah sekitarmu! Kau tidak akan menemukan sepercik pun cahaya dari dunia siang. Lihatlah sekelilingmu, yang ada hanyalah orang-orang terlupakan, yang telah lama disingkirkan dari siang,” jawabnya. “Dengar, kau tidak pantas untuk ini. Dirimu bukan dan tidak akan pernah menjadi bagian dari kami! Ketenaran dan perhatian akan dan telah menjadi bagian integral di dalam hidupmu!”
Asap kembali menghembus dari mulutnya. Nyala bara di ujung rokok itu menjelma menjadi sebuah bintang yang turun dari langit. Bintang berwarna jingga kemerahan yang panas. Bersinar dan berkilat di tengah gempuran sinar lampu jalan yang berdengung lirih.
Lelaki itu diam, tapi matanya nanar menatap Ila. Seribu hantu dan bayangan masa lalu seolah berkelebatan di depannya. Ada luka menganga dan koreng bernanah yang tersirat dalam tatapan itu, siap mengucurkan darah yang membanjir. Penderitaan dalam menahan sungai darah itu berkilat sekilas bagaikan bintang jatuh, dan kembali menutup dalam pandangan kosong.
“Duniamu tidak jauh berbeda dari dunia siang. Kau bukanlah seseorang yang berbeda dari mereka semua! Pergi dan jangan menyiksa siapapun. Tidak dirimu, bukan diriku, dan jangan pula kami!!”
Ila menahan nafasnya, mencoba mendengarkan suara dirinya sendiri. Tiba-tiba terdengarlah sebuah suara gaduh di belakangnya. Glodak glodak!!! Seekor kucing liar baru saja lewat dan menyenggol sebuah tong sampah. Beberapa orang yang tengah tidur di jalanan itu terbangun sejenak, mencoba mencari sumber suara itu. Mereka tersenyum melihatnya dan kucing itu, kemudian kembali tidur.
“Kau..... Aku sama sekali tidak mengerti semua ini!”
Si lelaki mengangguk perlahan sembari menghisap rokoknya kembali. “Tentu saja! Jelas tersirat di dalam wajahmu – dan juga semua wajah siang yang lain –ini semua adalah sesuatu yang asing! Kalian tidak pernah mengerti, dan tidak akan pernah sampai kapan pun juga!” Terhenti sejenak. Kepalanya menunduk. “Karena kalian tidak pernah mencoba mengerti.....,” sambungnya lirih.
“Mengerti?”
“Ya! Kalian selalu menyingkirkan semua yang tidak bersinar dengan listrik. Kalian memuja cahaya artifisial itu, mencoba untuk menggantikan sang surya tua dengannya. Sementara semua pemuja bintang, bulan, dan matahari diperlakukan bagaikan paria. Lupa sudah bahwa semua itu adalah awal dan dasar dari semua cahaya!”
Breeem!! Sebuah mobil dengan plat luar kota itu melintas persis di depan lelaki itu dan Ila. Lampunya seolah memecah kegelapan malam, mencoba untuk menjadi sang candra yang turun ke dunia.
“Dan lihatlah kini! Tidak ada lagi pesona malam penuh bintang. Terganti oleh malam benderang, meski dengan sudut-sudut gelap tak terjamah sinar palsu itu, yang dihuni oleh para pemuja cahaya angkasa. Masyarakat paria yang terlupakan. Makhluk buangan yang memilih kesunyian sebagai pengasingan mereka, sebagai tempat dimana mereka tetap dapat menjadi diri mereka sebagaimana diciptakan oleh alam.....”
Ila mengulurkan tangannya, menjamah dan meraba wajah si lelaki. Ia tidak bergerak. Tangan kecil itu menyentuh kumis dan jambangnya yang tidak rapi. Wajah itu tidak rapi, seolah telah dibakar dengan sebuah sentuhan panas membara dari derita. “Jadi, malam adalah tempat pelarian orang-orang terluka sepertimu?”
“Sudah kubilang, kau tidak akan pernah mengerti!”
“Apa aku salah?” jawab Ila tersentak.
“Malam bukan tempat pelarian paria, melainkan tempat pengasingan paria! Tempat para pemuja bulan dan cahaya lazuardi lainnya terusir karena cahaya daratan!” ujar lelaki itu ketus, sembari menarikan kembali sang naga asap untuk kesekian kalinya.
Ila terdiam. Di atas cakrawala, sang candra bulat sempurna menari di atas hamparan beludru hitam, mencoba menorehkan sentuhannya yang paling lembut di atas keheningan.
“Kami tidak berarti, orang-orang yang terlupakan. Dilupakan oleh dunia, hanya karena kami tidak sama dengan mereka. Konsekuensi dari pilihan kami untuk menjadi berbeda, di tengah masyarakat yang menginginkan keseragaman.
“Tapi kau....... Kau lain dari kami. Kembalilah ke habitatmu, wahai wanita! Kau seorang mapan dengan kemampuan untuk beradaptasi dengan baik pada seluruh dunia ini!”
“Kau terluka!” sahut Ila pelan.
“Luka? Apa yang kau tahu tentang luka? Malam adalah tempat perlindungan orang yang terluka, yang menyembunyikan goresan dan parut-marut kami!”
Ludah Ila tercekat sebelum membuka mulutnya. “Kau ditinggalkan dan dicampakkan. Siapa dia?”
Lelaki itu menoleh, menghela nafas, melanjutkan isapan rokoknya sebelum akhirnya menjawab dengan suara bergetar, “Namanya Damai. Wanita itu mencampakkanku karena malu akan aku. Malu akan segala perbedaan yang ada di dalamku. Damaiku tersayang, yang mencampakkanku karena tekanan dunia padanya.....” Ia terdiam dan menundukkan kepalanya.
Tangan Ila maju dan membelai rambutnya, yang dalam sekejap ditepisnya. “Tahu apa kau tentang luka? Tahu apa kau tentang malam? Tahu apa kau tentang beda? Tahu apa kau tentang Damai?” sergahnya cepat. Suaranya masih bergetar, dipenuhi dengan emosi.
“Aku memang tidak tahu apapun tentangnya? Tapi, tidakkah aku boleh mengetahuinya?”
“Pergilah! Pergi dari hidupku, dan lupakan aku. Kami hanyalah orang-orang terbuang, manusia tak terjamah, penderita kusta di zaman modern, makhluk terlupakan. Kau terlalu tinggi bagi kami, terlalu menyilaukan bagi mata malam kami,” ujarnya. “Pergilah!” sahutnya setengah tercekat.
Ila bangkit berdiri perlahan dan mengancingkan erat jaketnya dengan tangannya. Matanya tidak bisa lepas dari lelaki itu. Baru saja mulutnya membuka, lelaki itu sudah mengangkat tangannya.
“Ssst, diam! Jangan berkata apapun. Biarkan aku tenggelam di tengah lautan tanpa suara ini!”
Wanita itu berbalik. “Setidaknya, sebelum aku pergi, katakan saja siapa namamu!”
Ia tidak menjawab. Ila berjalan semakin menjauh, sebelum akhirnya terdengar sebuah suara kecil bagai bisikan, “Aku Buana, yang terlupakan!”
Ila membalikkan badannya, hendak berterimakasih. Akan tetapi, yang didapatinya hanyalah kebulan asap rokok yang tipis dan indah membumbung tinggi ke angkasa. Selebihnya, semua sunyi.

No comments: