Tuesday, October 07, 2008

Bulan di Atas Kuburan


Nisan itu berkilau tertimpa elusan lembut dari cahaya bulan purnama yang bersinar di atas langit kelam. Sementara itu, tanah kecoklatan di sekitarnya masih basah tersiram oleh gerimis yang baru saja mereda. Tidak ada suara, selain desau angin malam yang menggoyangkan dedaunan pohon kamboja besar di tengah kompleks pemakaman itu.
Sesosok pria tampak duduk di samping sebuah nisan. Sesekali, tangannya yang besar itu membenarkan kancingan jaketnya. Hembusan nafasnya perlahan, bagaikan menyatu dengan irama malam yang tengah dimainkan oleh orkestra yang tak terlihat. Ketika angin menghembus kencang, ia menghela nafas panjang. Tapi ketika desir hawa di pepohonan menggoyangkan kuntum kamboja perlahan, ia menarik nafasnya perlahan, bagaikan sebuah patung.
“Kenapa kau disini?” tanya sebuah suara memecah keheningan pekuburan itu.
“Tak bolehkah?” jawab pria itu tanpa menoleh ke arah asal suara itu. Pandangannya tetap lurus ke depan, kosong dan hampa.
“Tidak biasanya kutemui seseorang menghabiskan waktunya di pekuburan kuno ini,” sahut suara itu lembut, senada dengan irama malam yang hening.
“Lalu kau sendiri dianggap apa?” balik sang pria.
Suara itu tertawa perlahan. “Yah, aku tak pernah melihat hal seperti ini sebelumnya! Kata orang, pekuburan ini berhantu. Jadi, bahkan di waktu siang pun tidak ada yang berani mendekatinya. Tapi di tengah malam seperti ini, justru aku menemuimu. Tidakkah kau takut?”
Sebuah tawa sinis perlahan keluar dari mulut sang pria. “Hantu? Lalu apakah yang bisa mereka lakukan padaku? Paling-paling engkaulah hantu itu!”
“Aku bukan hantu, hanya seorang yang seringkali menghabiskan waktunya di sini. Melihat bintang yang sudah tidak terlihat lagi di tengah kota. Menikmati indahnya bulan purnama yang begitu bulat dan menenangkan. Justru di tempat seperti ini, barulah aku bisa merasakan keanggunan mereka tanpa diganggu oleh bintang-bintang buatan manusia,” jawabnya.
“Aku setuju. Seringkali manusia menginginkan lebih, sehingga justru melupakan yang asli. Mereka lupa, justru karena sinar pucat itu berada di kegelapan, keindahan itu muncul!”
“Kau sepertinya salah seorang dari mereka. Apa yang membawamu kesini?”
Pria itu menghela nafas panjang. Ia menjawab perlahan, “Tempat ini memanggilku di kala siang. Ia menggodaku dengan sebuah rentangan tangan lebar, seakan siap untuk menyambutku. Sudah tidak ada lagi yang kutakuti, jadi, mengapa tidak kucoba?”
Hening sesaat sebelum ada jawaban, “Lalu?”
“Ini tempat yang baik untuk menyendiri. Nisan-nisan tua yang sudah terlupakan dan tak terawat lagi. Ini seolah-olah telah menjadi tempat najis yang dijauhi oleh manusia, yang bahkan untuk meliriknya pun mereka tak mau. Ah, manusia!”
Diam. Tidak ada suara kembali, sehingga sang pria dapat mendengar gema suaranya sendiri. “Manusia...... Sia...... A.... a....”
“Habis manis sepah dibuang, eh? Orang-orang itu. Dibuang dan dibiarkan membusuk. Terlupakan!”
“Tapi ada damai, bukan?”
“Damai. Apakah arti kata itu?”
“Ketika kau bisa melihat keindahan dari cahaya pucat itu, ketika kau merasakan belaian dari sang angin, dan ketika cahaya bintang itu tidak lagi terlalu kecil untuk kau nikmati. Itulah damai bagiku!”
Ia menghela nafas lagi. Kepalanya mendongak dan badannya rebah di atas tanah basah itu. Persis di samping nisan, ia melihat sekuntum bunga liar. Matanya terpejam, dan ia menggumam. “Jadi, itulah alasanmu mengundangku kesini? Membawaku pulang ke pangkuan Ibu Sri!”
Tidak ada jawaban. Ia tidak lagi merasakan kehadiran seorang pun di sekitarnya. Tidak, mungkin yang lebih tepat, ia tidak pernah merasakan kehadiran seorang pun disana.
Malam terus berjalan, dan cahaya sang bulan masih menyapu nisan-nisan itu. Kali ini terbaca sebuah nama disana, Sri Pratiwi.

No comments: